Abstract:
Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian merupakan penggabungan antara
perkara pidana dengan perkara perdata. Dalam artian korban tindak pidana dapat langsung
menggabungkan perkara pidana dengan gugatan ganti kerugian yang dialami oleh korban
tindak pidana tersebut. Ketentuan tentang penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini
terdapat di dalam Pasal 98 dan 99 KUHAP. Ganti kerugian yang dimaksud dalam pasal tersebut
yaitu ganti kerugian yang merupakan akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh
terdakwa. Namun, yang menjadi permasalahan adalah ganti kerugian yang dapat dikabulkan
oleh hakim hanya sebatas ganti kerugian materil yang sudah dikeluarkan oleh korban tindak
pidana.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis keterbatasan Pasal 98 dan 99
KUHAP dan mengetahui apa solusi bagi korban yang mengalami kerugian materiil yang belum
dikeluarkan oleh korban, namun akan dikeluarkan serta kerugian immateriil yang diderita oleh
korban tindak pidana. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode
penelitian yuridis normatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan,
putusan pengadilan, dan asas-asas hukum pidana.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sebaiknya Pasal 98 dan 99 KUHAP tentang
penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini tidak hanya dibatasi sampai kerugian materiil
yang telah dikeluarkan oleh korban tindak pidana. Tetapi, ganti rugi yang diberikan mencakup
kerugian materil dan immateriil yang diderita oleh korban tindak pidana. Hal tersebut dapat
menjadi pertimbangan bagi pembentuk Undang-Undang dalam melakukan perubahan
ketentuan pasal 98 dan 99 KUHAP di dalam RUU KUHAP. Sehingga harapan korban tindak
pidana di kemudian hari dapat mengajukan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian
bukan hanya kerugian materiil yang sudah dikeluarkan saja, melainkan ganti rugi materil yang
belum dikeluarkan namun masih akan dikeluarkan dan kerugian immateriil.