dc.description.abstract |
Virus Covid-19 menjangkit seluruh dunia sejak akhir 2019, termasuk Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, maka Covid-19 ditetapkan sebagai bencana nasional. Hal
ini disebabkan oleh tingginya jumlah korban dan kerugian harta benda yang
meningkat, luasnya wilayah yang terjangkit, dan kondisi sosial ekonomi yang
menurun signifikan. Kesulitan masyarakat dalam memenuhi berbagai kebutuhan,
termasuk di antaranya adalah tersendatnya pembayaran pada perusahaan
pembiayaan oleh debitur. Oleh sebab itu, guna menanggulangi dampak penyebaran
Covid-19, maka diambil kebijakan countercyclical melalui POJK Nomor14/2020.
Dalam POJK tersebut diatur pula kebijakan rescheduling yaitu berupa perubahan
syarat pada perjanjian pembiayaan terkait dengan jadwal atau jangka waktu
pembayaran termasuk masa tenggang (grace period) serta perubahan nilai angsuran
yang harus dibayarkan. Namun, jika pihak Perusahaan Pembiayaan X membuat
perjanjian rescheduling secara sepihak bahkan tidak terdapat perjanjian secara
tertulis, maka akan berdampak kepada syarat formil dari suatu perjanjian. Melalui
metode penelitian yuridis normatif akan dikaji lebih mendalam terkait perjanjian
rescheduling tersebut. Akibat hukum dari perjanjian rescheduling yang dibuat
secara sepihak oleh Perusahaan Pembiayaan X dan tidak dibuat secara tertulis
melanggar yaitu Pasal 33 ayat (1) dan 35 POJK Nomor 35/2018; 2) Pasal 32 ayat
(1) huruf c POJK Nomor 6/2022, maka perjanjian batal demi hukum dan perjanjian
dianggap tidak pernah ada, sebab melanggar syarat formil pembuatan perjanjian
yang tidak boleh melanggar perundang-undangan. Sedangkan bagi Debitur X
sebagai konsumen yang haknya dilanggar maka dilindungi dengan cara
mengajukan pengaduan hingga langkah gugatan yang dapat didampingi OJK pada
pengadilan seperti tercantum pada POJK Nomor 18/2018 dan POJK Nomor 6/2022. |
en_US |