Abstract:
Dalam penelitian ini, Penulis berfokus kepada Alat bukti yang tidak diatur didalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana. Pembuktian merupakan proses yang sangat penting karena dalam hal menjelaskan apakah seorang terdakwa benar melakukan atau tidak melakukan Tindakan yang telah dilarang dalam Undang – Undang. Pembuktian yang tidak jelas tentunya sangat menjadi hal yang tidak benar, karena dapat menimbulkan Tindakan kesewenangan yang dilakukan hakim, serta dilanggarnya Hak sebagai manusia. Alat bukti yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana menjadi pedoman untuk proses pembuktian yang dilakukan dalam pengadilan, jika hal tersebut menimbulkan kerugian pada terdakwa, maka konsep setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama dihadapan hukum terbilang gugur. Pada studi kasus ini terdapat subyek hukum Bernama Jessica Kumala Wongso yang didakwa melakukan pembunuhan berencana terhadap temannya sendiri yaitu Wayan Mirna Salihin, Jessica berulang kali melakukan Tindakan hukum luar biasa demi membuktikan dirinya tidak bersalah dan tidak melakukan hal itu, namun Hakim tetap bersikukuh terhadap bersalahnya Jessica dengan menggunakan dasar circumstantial evidence atau alat bukti tidak langsung serta keyakinan hakim sendiri. Seharusnya hakim tidak dapat menggunakan alat bukti circumstantial evidence atau alat bukti tidak langsung, maka dari itu terhadap putusan tersebut Penulis melakukan penelitian ini dengan menggunakan metode yuridis normative untuk mengkaji apakah pertimbangan hukum atas didakwanya Jessica Kumala Wongso sudah tepat dan bagaimana pengaturannya dalam Sistem Hukum Peradilan yang dimiliki Negara Indonesia terhadap alat bukti circumstantial evidence atau alat bukti tidak langsung menurut rumusan dari Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana dan ditemukan bahwa pertimbangan hakim tidak tepat.