dc.description.abstract |
Biji petai cina merupakan bagian tanaman yang memiliki kandungan globulin yang tinggi; mencapai 43,5%. Globulin dapat diaplikasikan sebagai koagulan alami; globulin akan bermuatan positif di bawah pH isoelektriknya sehingga dapat mengkoagulasi zat warna anionik seperti kongo merah. Berdasarkan hasil penelitian yang ada; kinerja ekstrak kasar protein biji petai cina sebagai koagulan alami belum optimal, baik dari nilai COD limbah ataupun waktu sedimentasinya. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah pembuatan koagulan magnetik dari magnetit yang difungsionalisasi menggunakan protein biji petai cina sehingga waktu sedimentasi dapat dipersingkat dengan bantuan magnet eksternal. Namun; magnetit cenderung membentuk agregat sehingga perlu dilakukan modifikasi terlebih dahulu untuk mencegah pembentukan agregat sekaligus meningkatkan kapasitas adsorpsi protein. Pada penelitian ini digunakan asam tanin untuk modifikasi magnetit; mengingat asam tanin memiliki kemampuan untuk berikatan dengan magnetit sekaligus mengikat protein sehingga dapat meningkatkan kapasitas protein yang ada untuk proses koagulasi.
Biji petai cina yang telah disortasi dikeringkan terlebih dahulu di dalam oven pada temperatur 65oC hingga kadar airnya < 12% (w/w); kemudian dilakukan pengecilan ukuran hingga berukuran − 80 mesh. Ekstraksi dilakukan secara batch dengan mengontakan biji petai cina dengan pelarut garam NaCl 1 M secara dispersi selama 60 menit pada temperatur ruang dan pH 9. Modifikasi magnetit dilakukan menggunakan asam tanin; dilanjutkan dengan fungsionalisasi magnetit oleh protein pada pH 4. Respon yang diamati berupa kapasitas adsorpsi protein (uji Bradford). Uji koagulasi dilakukan menggunakan koagulan magnetik besi nanopartikel – protein biji petai cina dengan variasi pH pada rentang 2 − 5 sebanyak 4 level, variasi dosis koagulan pada rentang 25 − 250 mg/L sebanyak 6 level, dan variasi konsentrasi awal kongo merah pada rentang 10 − 70 ppm sebanyak 10 level. Respon yang diamati adalah penurunan konsentrasi zat warna (spektrofotometer UV-Vis), volume sludge (metode volumetrik), dan COD removal pada kondisi terbaik (permanganometri). Kinetika sedimentasi juga diamati setiap 5 menit hingga tercapai waktu sedimentasi 60 menit. Model yang digunakan untuk mengevaluasi kinetika sedimentasi adalah model kinetika pseudo orde 1 dan pseudo orde 2.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi protein dengan fungsionalisasi pada pH 4 mencapai 0,41 mg eq BSA/mg besi. Aktivitas koagulasi diamati terjadi pada pH 2 dan tidak terjadi koagulasi pada pH 3 − 5. Aktivitas koagulasi meningkat seiring penambahan dosis koagulan magnetik; namun mencapai titik kritik pada dosis 100 mg/L dengan penurunan konsentrasi zat warna mencapai 89,10% dan volume sludge yang dihasilkan 4 mL/L. Aktivitas koagulasi juga meningkat seiring penambahan konsentrasi awal kongo merah, namun mencapai titik kritik pada 40 ppm dan cenderung konstan pada konsentrasi 50 − 70 ppm. Kinetika koagulasi mengikuti model pseudo orde 2 dengan adsorpsi yang terjadi adalah chemisorption dimana interaksi dipol-dipol terjadi akibat perbedaan muatan protein pada koagulan magnetik dengan koloid zat warna kongo merah. Ketika dibandingkan dengan koagulasi menggunakan ekstrak kasar protein saja; kinerja koagulan magnetik lebih baik ditinjau dari waktu koagulasinya yang lebih cepat, yaitu 5 menit, dengan penurunan konsentrasi zat warna lebih besar. Penurunan nilai COD terjadi pada koagulasi menggunakan koagulan magnetik, sedangkan pada penggunaan ekstrak kasar protein nilai COD limbah meningkat. |
en_US |