Tinjauan terhadap kekuatan mengikat surat wasiat berobjek tanah tanpa akta notaris dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan kompilasi hukum Islam

Show simple item record

dc.contributor.advisor Kristianti, Dewi Sukma
dc.contributor.author Desindira, Fadhilah Rahmi Tamy
dc.date.accessioned 2023-12-11T03:22:39Z
dc.date.available 2023-12-11T03:22:39Z
dc.date.issued 2022
dc.identifier.other skp44178
dc.identifier.uri http://hdl.handle.net/123456789/16711
dc.description 5091 - FH en_US
dc.description.abstract Wasiat merupakan salah satu cara peralihan hak kepemilikan seseorang kepada orang lain atas dasar kehendak dari pemilik hak tersebut dan pelaksanaannya berlaku pada saat ia meninggal dunia. Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai pedoman hukum Islam di Indonesia mengatur ketentuan terkait pembuatan wasiat, yaitu pada Pasal 195 ayat (1) yang menyatakan suatu wasiat yang dibuat secara tertulis dapat dilakukan di hadapan dua orang saksi atau di hadapan Notaris. Ketentuan tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum karena terdapat peraturan perundang-undangan seperti Kitab Undangundang Hukum Perdata, Undang-Undang No. 30 Tahun 2004, dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 60 Tahun 2016 yang menegaskan bahwa surat wasiat harus dibuat oleh atau di hadapan Notaris. Wasiat yang dilakukan dengan disaksikan oleh dua orang saksi berbentuk akta di bawah tangan, sedangkan wasiat yang pembuatannya oleh atau di hadapan Notaris memiliki bentuk akta otentik. Pada dasarnya, ketentuan dalam KHI seakan menyatakan baik wasiat yang berakta otentik dengan wasiat yang berbentuk akta di bawah tangan memiliki kekuatan hukum yang sama, akan tetapi KUHPerdata mengatur bahwa kedua bentuk akta tersebut memiliki kekuatan hukum yang berbeda. Oleh karena itu, menjadi suatu permasalahan hukum jika terdapat sengketa terkait bentuk surat wasiat yang berbeda saling beririsan karena objek wasiatnya yang sama maka bentuk surat wasiat manakah yang dapat dilaksanakan, serta ketentuan dalam KHI atau KUHPerdata yang akan digunakan. Pada dasarnya, hukum waris berdasarkan KHI dengan hukum waris berdasarkan KUHPerdata merupakan sistem hukum yang berbeda sehingga dapat terjadi ketidakpastian hukum jika kedua sistem hukum tersebut diberlakukan bersamaan. Namun dalam hal terjadinya sengketa antara wasiat berbentuk akta di bawah tangan dengan akta otentik maka berdasarkan hierarki peraturan perundangundangan, kedudukan KUHPerdata dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 lebih tinggi dibandingkan KHI yang disahkan melaui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 karena Inpres merupakan peraturan pelaksana yang kedudukannya di bawah Undang-Undang. Selain itu, PERMENKUMHAM No. 60 Tahun 2016 merupakan peraturan yang terbaru dibandingkan dengan KHI sehingga ketentuan dalam KHI dapat dikesampingkan. en_US
dc.language.iso Indonesia en_US
dc.publisher Program Studi Hukum Fakultas Hukum - UNPAR en_US
dc.subject AKTA NOTARIS en_US
dc.subject SURAT WASIAT en_US
dc.subject KOMPILASI HUKUM ISLAM en_US
dc.subject AKTA DI BAWAH TANGAN en_US
dc.title Tinjauan terhadap kekuatan mengikat surat wasiat berobjek tanah tanpa akta notaris dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan kompilasi hukum Islam en_US
dc.type Undergraduate Theses en_US
dc.identifier.nim/npm NPM6051801058
dc.identifier.nidn/nidk NIDN0429047801
dc.identifier.kodeprodi KODEPRODI605#Ilmu Hukum


Files in this item

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record

Search UNPAR-IR


Advanced Search

Browse

My Account