Abstract:
Wasiat merupakan salah satu cara peralihan hak kepemilikan seseorang kepada orang
lain atas dasar kehendak dari pemilik hak tersebut dan pelaksanaannya berlaku pada saat ia
meninggal dunia. Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai pedoman hukum Islam di Indonesia
mengatur ketentuan terkait pembuatan wasiat, yaitu pada Pasal 195 ayat (1) yang menyatakan
suatu wasiat yang dibuat secara tertulis dapat dilakukan di hadapan dua orang saksi atau di
hadapan Notaris. Ketentuan tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut sehingga menimbulkan
ketidakpastian hukum karena terdapat peraturan perundang-undangan seperti Kitab Undangundang
Hukum Perdata, Undang-Undang No. 30 Tahun 2004, dan Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia No. 60 Tahun 2016 yang menegaskan bahwa surat wasiat harus dibuat
oleh atau di hadapan Notaris. Wasiat yang dilakukan dengan disaksikan oleh dua orang saksi
berbentuk akta di bawah tangan, sedangkan wasiat yang pembuatannya oleh atau di hadapan
Notaris memiliki bentuk akta otentik. Pada dasarnya, ketentuan dalam KHI seakan menyatakan
baik wasiat yang berakta otentik dengan wasiat yang berbentuk akta di bawah tangan memiliki
kekuatan hukum yang sama, akan tetapi KUHPerdata mengatur bahwa kedua bentuk akta
tersebut memiliki kekuatan hukum yang berbeda. Oleh karena itu, menjadi suatu permasalahan
hukum jika terdapat sengketa terkait bentuk surat wasiat yang berbeda saling beririsan karena
objek wasiatnya yang sama maka bentuk surat wasiat manakah yang dapat dilaksanakan, serta
ketentuan dalam KHI atau KUHPerdata yang akan digunakan. Pada dasarnya, hukum waris
berdasarkan KHI dengan hukum waris berdasarkan KUHPerdata merupakan sistem hukum
yang berbeda sehingga dapat terjadi ketidakpastian hukum jika kedua sistem hukum tersebut
diberlakukan bersamaan. Namun dalam hal terjadinya sengketa antara wasiat berbentuk akta
di bawah tangan dengan akta otentik maka berdasarkan hierarki peraturan perundangundangan,
kedudukan KUHPerdata dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 lebih tinggi
dibandingkan KHI yang disahkan melaui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 karena Inpres
merupakan peraturan pelaksana yang kedudukannya di bawah Undang-Undang. Selain itu,
PERMENKUMHAM No. 60 Tahun 2016 merupakan peraturan yang terbaru dibandingkan
dengan KHI sehingga ketentuan dalam KHI dapat dikesampingkan.