Abstract:
Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, secara umum terdapat 4 (empat) komponen atau elemen yang menjadi subsistem yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan. Kejaksaan memiliki peran yang sentral dalam rangka menjalankan tugas penuntutan. Penuntut umum memiliki peran sebagai dominus litis atau penguasa perkara dalam sistem peradilan pidana berhasil atau tidaknya proses peradilan sangat dipengaruhi keberhasilan pada tahap penuntutan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kejaksaan mempunyai kewenangan diskresi yang salah satu perwujudannya adalah dapat dilakukannya penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Sehingga dikarenakan kewenangan diskresioner tersebut merupakan hal baru yang dimiliki oleh kejaksaan timbulah pertanyaan apakah diskresi kejaksaan dapat digunakan dalam penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Penelitian ini merupakan penelitian hukum Yuridis-Normatif. Berdasarkan penelitian ini, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti dan mengkaji bahan pustaka atau data sekunder yang ada kaitannya dengan wewenang jaksa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1) ketentuan mengenai diskresi kejaksaan bertentangan dengan ketetentuan diskresi yang tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan; 2) Hasil penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif tidak dapat mempunyai kepastian hukum dikarenakan perkara yang dihentikan tidak dibuatkan ketetapan oleh pengadilan layaknya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.