Abstract:
Hubungan seksual merupakan salah satu elemen yang ada dalam hubungan suami dan istri untuk mencapai kepuasan seksual. Dalam beberapa pasangan, terdapat penyimpangan dalam melakukan hubungan seksual, yakni dengan melakukan perbuatan sadomasokisme. Sadomasokisme merupakan gabungan dari kata sadisme dan masokisme. Sadisme yaitu penyimpangan seksual berupa mendapat kepuasan seksual bila memberikan rasa sakit kepada pasangannya. Masokisme adalah penyimpangan seksual berupa mendapat kepuasan seksual bila menerima rasa sakit dari pasangannya. Perbuatan sadomasokisme
dapat menimbulkan rasa sakit, luka, hingga kematian pada pasangan. Dampak yang ditimbulkan tersebut merupakan tindakan yang dilarang berdasarkan hukum pidana. Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) melarang tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan diantaranya dengan cara kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Hal ini menjadi persoalan bilamana terdapat pasangan suami dan istri yang melakukan perbuatan sadomasokisme dengan persetujuan di antara keduanya. Apakah perbuatan sadomasokisme yang dilakukan dengan persetujuan oleh pasangan suami dan istri dapat
dikategorikan sebagai tindakan KDRT sebagaimana tersebut? Apakah persetujuan dalam perbuatan sadomasokisme dapat menyimpangi sifat hukum publik dalam hukum pidana? Tulisan ini menelaah permasalah tersebut dengan metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa perbuatan sadomasokisme yang dilakukan oleh suami dan istri dengan persetujuan merupakan KDRT dengan cara kekerasan fisik, namun bukan
merupakan KDRT dengan cara kekerasan seksual. Persetujuan dalam melakukan perbuatan sadomasokisme tersebut pun tidak dapat mengesampingkan sifat hukum publik dalam hukum pidana.