Abstract:
Mengungsi merupakan sebuah hak yang melekat terhadap semua individu di dunia. Ketika seseorang merasa terancam di rumah dan/atau negaranya sendiri, maka mengungsi dapat menjadi sebuah tindakan yang dipilih. Pengungsian ini dapat berujung pada pemukiman kembali ke negara tujuan atau yang sering juga disebut sebagai negara ketiga, atau pemulangan kembali ke negara asal karena masalah yang mendorong mereka untuk
mengungsi telah terselesaikan. Oleh karena itu, penting bagi sistem migrasi reguler untuk dirancang agar pengungsi dapat dipenuhi kebutuhannya semasa pengungsian. Namun, nyatanya sampai pertengahan tahun sendiri 2022 sudah terdapat 32.5 (tiga puluh dua juta lima ratus ribu) yang telah dikategorikan sebagai pengungsi yang dimana hanya 204.500 (dua
ratus ribu lima ratus) diantaranya yang telah berhasil dipulangkan kembali ke negara asal atau dimukimkan kembali.1 Tidak sebandingnya kedua jumlah tersebut disebabkan karena ketidakmampuan jalur migrasi reguler untuk mengurus jumlah pengungsi yang besar, yang akhirnya berujung dengan berbagai masalah sosial yang baik dialami pengungsi itu sendiri
maupun juga berbagai negara persinggahan yang menampung mereka. Ketidakseimbangan antara permintaan pemukiman kembali dengan pengimplementasian dari pemukiman kembali itu sendiri akhirnya menjadi sebuah masalah dalam jalur migrasi reguler. Complementary pathways kemudian dirancang sebagai respon dari berbagai masalah yang muncul dari
ketidakseimbangan tersebut. Dengan berbagai pertimbangan akan skema yang ditawarkan, diakumulasikan dengan masalah sosial yang terus berkembang dalam jalur migrasi reguler, complementary pathways, dilihat dari berbagai pihak yang terkait dalam isu pengungsian, sebagai satu-satunya kebijakan yang solutif, efektif, serta implementatif terhadap angka
pemukiman kembali yang rendah. Namun, mengingat kebijakannya yang masih relatif baru, masih dibutuhkan penelitian tentang complementary pathways terkait substansi, manfaat yang diberikan, serta efektivitasnya.