Abstract:
Vanuatu merupakan salah satu negara Pasifik yang paling gencar mengangkat isu kemerdekaan Papua melalui politik dan kebijakan luar negerinya. Ketentuan mengenai prinsip non-intervensi diatur dalam Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB yang menjelaskan bahwa suatu negara dilarang mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Penulis menganalisis studi kasus dengan menggunakan Non-Western International Relations Theory dari Ibn Khaldun, khususnya konsep asabiyyah dengan 3 (tiga) variabel yakni kesukuan, kebutuhan atau apa yang diperjuangkan, dan agama. Penelitian ini menemukan bahwa tindakan Vanuatu didasari oleh rasa persatuan dan kesadaran kolektif antara Papua dengan negara-negara Melanesia. Adanya ikatan rasa persaudaraan dan agama antara masyarakat Papua dan Melanesia juga turut berpengaruh. Dukungan yang diberikan oleh Vanuatu juga dimotivasi oleh hak asasi manusia. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui secara mendalam apa yang diperbolehkan dan dilarang berdasarkan prinsip non-intervensi dalam tindakan yang dilakukan Vanuatu di forum internasional. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Dalam hukum internasional modern, intervensi tidak hanya terbatas pada penggunaan kekuatan, tetapi melarang segala bentuk intervensi tidak langsung, baik melalui politik, ekonomi, maupun diplomasi.