Abstract:
Pemilihan tentang Bahasa yang akan digunakan di dalam perjanjian pada hakekatnya merupakan kebebasan dari para pihak untuk mengaturnya. Pemilihan Bahasa dalam suatu perjanjian ini diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang mewajibkan setiap perjanjian ditulis dalam Bahasa Indonesia. Namun, dalam UU tersebut tidak disebutkan sanksi yang akan dikenakan apabila ada perjanjian yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia.
Setelah itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan surat Nomor M.HH.UM.Ol.Ol-35 tahun 2009 tentang permohonan klarifikasi atas implikasi dan pelaksanaan UU No. 24/2009 yang isinya menyatakan bahwa pe:Ijanjian privat komersial dalam Bahasa lnggris tanpa disertai versi Bahasa Indonesia tidak melanggar kewajiban sebagaimana yang dimaksud UU tersebut dan tetap sah. Yang menjadi fokus penulis dalam penulisan hukum ini adalah bagaimanakah kekuatan hukum surat Menkumham tersebut dan bagaimana keabsahan suatu perjanjian yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia dihubungkan dengan kesepakatan para pihak berdasarkan UU No 24/2009.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa Surat Menkumham tersebut tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum, karena tidak memenuhi syarat material pembuatan beschikking sehingga dapat dinyatakan tidak berlaku dan Perjanjian yang telah disepakati menggunakan Bahasa asing tidak memenuhi syarat objektif sahnya suatu perjanjian mengenai causa yang halal karena bertentangan dengan UU No 24 Tahun 2009 sehingga dapat dinyatakan batal demi hukum. Jadi, surat Menkumham tersebut harus dicabut agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan perjanjian sebaiknya ditulis dalam 2 Bahasa, yakni Bahasa Asing itu sendiri dan juga Bahasa Indonesia untuk mencegah itikad buruk dari salah satu pihak yang tidak dapat menyelesaikan prestasinya dalam perjanjian tersebut untuk meminta pengadilan agar pe:Ijanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum apabila perjanjian hanya ditulis dalam Bahasa Asing