Abstract:
Dalam upaya untuk menangani dan memberantas tindak pidana narkotika di Indonesia,
pemerintah telah membentuk dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika (UU Narkotika 2009). UU Narkotika 2009 sudah memberikan ketentuan
mengenai ancaman pidana minimum khusus terhadap tindak pidana narkotika yang diatur di
dalamnya. Dengan adanya ketentuan ancaman pidana minimum khusus pada UU Narkotika
2009, maka Hakim sebagai pemegang kekuasaan tunggal dalam menjatuhi pidana harus
mengikuti ketentuan ini. Akan tetapi, dalam UU Narkotika 2009 terdapat beberapa ketentuan
yang masih kurang jelas dan juga pasal 112 yang dianggap multitafsir. Hal ini
mengakibatkan adanya hambatan dalam penyelenggaraan peradilan. Dimana pada
persidangan terdapat Terdakwa yang terbukti sebagai Penyalahguna Narkotika untuk Diri
Sendiri yang didakwa dengan pasal yang tidak tepat, yaitu Pasal 112. Penggunaan pasal yang
tidak tepat mengakibatkan terdakwa diancam dengan ancaman pidana minimum khusus
yang lebih berat dari seharusnya. Dalam menghadapi kasus tersebut, terdapat putusan
dimana Majelis Hakim menyimpangi ancaman pidana minimum khusus yang diatur dalam
Pasal 112 dengan menggunakan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015
(SEMA Nomor 3 Tahun 2015). Penggunaan SEMA Nomor 3 Tahun 2015untuk
mengesampingkan ketentuan dalam undang-undang menimbulkan permasalahan apakah
SEMA Nomor 3 Tahun 2015dapat digunakan untuk menyimpangi ancaman pidana
minimum khusus Pasal 112 UU Narkotika 2009.
Berdasarkan analisis yang dilakukan, Hakim dapat menggunakan SEMA Nomor 3
Tahun 2015 dapat digunakan untuk menyimpangi ancaman pidana minimum khusus Pasal
112 U UU Narkotika 2009 apabila terbukti bahwa Terdakwa yang didakwa dengan Pasal
112 adalah Penyalahguna Narkotika untuk Diri Sendiri. Penggunaan SEMA Nomor 3 Tahun
2015 bertujuan untuk mencapai fungsi keadilan dari hukum. Karena Hakim dalam
menjalankan tugas dan fungsinya wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.