Abstract:
Saat ini, penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam kontrak bisnis internasional masih lebih
diminati daripada melalui pengadilan atau litigasi. Hal tersebut dikarenakan, berdasarkan
Konvensi New York, perjanjian dan Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di
semua negara anggota Konvensi. Di samping kelebihannya yang dapat dilaksanakan di setiap
negara, terdapat pengecualian bahwa suatu Putusan Arbitrase Internasional dapat ditolak
pengakuan dan pelaksanaannya apabila dianggap akan bertentangan dengan ketertiban umum
suatu negara. Hal demikian diatur dalam Pasal V ayat (2) huruf (b) Konvensi New York, serta
dalam Pasal 66 huruf c Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase). Namun, kedua ketentuan tersebut hanya merujuk pada
ketertiban umum tanpa mendefinisikan makna ketertiban umum lebih lanjut. Dalam praktik
terdapat beberapa Putusan Arbitrase Internasional yang ditolak pelaksanaannya oleh
Pengadilan di Indonesia oleh karena bertentangan dengan ketertiban umum, diantaranya adalah
pada kasus E.D. dan F. Man (Sugar) v. Yani Haryanto dan kasus Astro All Asia Networks Plc
(Astro) v. PT Ayunda Prima Mitra. Dengan adanya putusan-putusan pengadilan tersebut
menimbulkan pertanyaan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan ketertiban umum
yang diterapkan dalam praktik pengadilan di Indonesia.
Penulisan hukum ini membahas mengenai ketertiban umum yang digunakan sebagai dasar
untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan suatu Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia.
Mengingat penafsiran ketertiban umum mungkin berbeda-beda di setiap negara. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu dengan melakukan
penelitian terhadap kaidah-kaidah hukum dan bahan pustaka yang terkait.