Abstract:
Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi banyak bidang –
bidang yang turut berkembang salah satunya adalah bidang industri. Kemajuan di bidang
industri membawa dampak bagi kehidupan sehari – hari manusia yaitu untuk
meningkatkan kesejahteraan umum manusia. Namun dibalik dampak positif yang
diberikan oleh bidang industri , terdapat dampak negatifnya dimana bidang industri akan
menghasilkan limbah , baik limbah biasa sampai limbah bahan berbahaya dan beracun
atau limbah B3.
Negara – negara yang maju di bidang industri cenderung memperjual – belikan
limbah nya kepada negara – negara berkembang dengan menawarkan insentif kepada
negara – negara berkembang. Bagi negara – negara berkembang hal ini merupakan salah
satu cara untuk meningkatkan devisa bagi negaranya. Perpindahan atau perdagangan
limbah ini diatur oleh suatu konvensi internasional bernama Konvensi Basel.
Di tahun 2017 , Sri Lanka dan Inggris melakukan ekspor – impor limbah dengan
tujuan mendaur ulang limbah serta mengambil elemen – elemen logam yang terkandung
dalam limbah. Tujuan dari perdagangan limbah ini tidak menyalahi Konvensi Basel.
Namun , ternyata Inggris juga mengekspor limbah klinis yang termasuk dalam limbah B3
kepada Sri Lanka dan hal ini menjadi illegal berdasarkan Konvensi Basel sehingga Sri
Lanka meminta kompensasi terhadap Inggris. Konvensi Basel memiliki protokol
tersendiri dalam hal pertanggungjawaban serta kompensasi namun sampai saat ini
Protokolnya hanya memiliki 12 pihak sedangkan protokol baru berlaku setelah protokol
mencapai 20 pihak. Dalam penelitian ini , penulis hendak meneliti dan menganalisis
dasar hukum apa yang dapat dijadikan oleh Sri Lanka dalam hal meminta kompensasi
terhadap Inggris.