Abstract:
Walaupun arsitektur tradisional sudah banyak dibahas oleh para arsitek, akan tetapi di Kalimantan Selatan rumah tradisional masih jarang dibahas secara ilmu tektonika. Rumah Bubungan Tinggi, merupakah jenis rumah tradisional yang ikonik, sejauh ini hanya dijadikan sebatas logo identitas kota saja, akan tetapi keberadaan wujud aslinya sudah mulai dipertanyakan.
Dalam menemukan suatu inti pokok dalam tektonika arsitektur tradisional khususnya di Indonesia, tentu saja tidak bisa hanya berdasarkan pengetahuan logika saja tanpa memandang dari maknanya yang sangat terkait dengan sisi kepercayaan, karena pada kenyataan kedua hal tersebut berjalan beriringan.
Tujuan dari studi ini adalah ingin mengungkapkan mengenai tektonika arsitektur rumah tradisional Bubungan tinggi. Museum Wasaka, yang merupakan satu-satunya rumah Bubungan Tinggi di Kota Banjarmasin yang masih dalam kondisi baik, dipilih sebagai objek studi walaupun, sayangnya sudah mengalami pergeseran fungsi menjadi museum perjuangan.
Metode yang digunakan adalah metode kualitatif, dengan pendekatan deskriptif. Data fisik objek studi yang diambil dari studi literatur dan pengamatan langsung diolah kembali menggunakan perangkat/software 3D untuk memahami sistem tektonikanya dan kemudian dianalisis. Proses penganalisisan dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap pertama melihat dari tektonika yang ada pada museum Wasaka dari sisi ruang, struktur, selubung, dan ornament. Kemudian setelah mengidentifikasi tektonika Museum Wasaka, maka dilanjutkan dengan analisis makna tektonika pada Museum Wasaka.
Makna tektonika pada Museum Wasaka terbagi menjadi makna teknikal. careform dan simbolik/artform. Setelah dilakukan penjabaran aspek dan analisis, ternyata Museum Wasaka memiliki kedua makna simbolik dan teknikal tersebut. Pada kenyataan. kedua aspek makna tersebut pada Museum Wasaka tidak bekerja secara beriringan seperti yang seharusnya. Hal ini dikarenakan Museum Wasaka hanya menjadi bangunan Bubungan Tinggi semata yang sudah kehilangan jati dirinya sebagai rumah tradisional.