dc.description.abstract |
Proses peradilan (pidana) seharusnya memang menjadi sarana yang ideal untuk
menyelesaikan perkara pidana yang ada dalam masyarakat (adjudication as tool of
social conflict resolution). Namun dalam prakteknya ternyata perilaku yudisial aparat
penegak hukum dalam menjalankan proses peradilan, menunjukkan bahwa peradilan
cenderung justru memelihara perkara atau bahkan memperbesar konflik, karena
putusan secara sosiologis dinilai tidak adil. Dalam kenyataannya pada saat proses
pemeriksaan perkara pada tingkat pengadilan segala kemungkinan bisa terjadi, salah
hukum sekalipun mungkin dapat terjadi, salah hukum sendiri merupakan kesalahan
dalam menetapkan hukuman, hal tersebut bisa berupa salah tangkap sampai dengan
salah vonis yang mengakibatkan terjadinya peradilan yang sesat (wrongful conviction).
Sehingga guna memulihkan hak-hak bagi para korban peradilan sesat ini adalah dengan
mengajukan permohonan upaya hukum luar biasa yaitu upaya hukum Peninjauan
Kembali. Permaslahan dalam skripsi adalah, Bagaimanakah bentuk perlindungan
hukum terhadap orang yang menjadi korban terjadinya kasus peradian sesat (wrongful
conviction) yang perkaranya telah berkekuatan hukum tetap? dan Bagaimanakah
memaknai asas litis finiri oportet (setiap perkara harus ada akhirnya) dalam pengajuan
PK lebih dari satu kali?. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan filosofis. Dengan
sumber data meliputi peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, serta situs-situs
yang mendukung penelitian ini. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa
terkait prosedur ganti kerugian sebagai wujud perlindungan hukum terhadap korban
peradilan sesat haruslah lebih disederhanakan, serta terkait diperbolehkannya PK lebih
dari satu kali dinilai menjujung tinggi aspek keadilan dan HAM sebagaimana diatur
dalam Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013. |
en_US |