dc.description.abstract |
Dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana yang tercantum dalam alinea ke-4
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang mampu
menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan menjalankan peran sebagai perekat
persatuan dan kesatuan bangsa secara profesional dan berkualitas. Oleh karena itu, dalam
menjalankan tugas dan kewajibannya PNS dituntut untuk bersikap netral. Pengaturan netralitas
PNS sebagai Pegawai ASN diatur dalam Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
41/PUU-XII/2014. Ketentuan tersebut mengharuskan adanya pernyataan pengunduran diri
secara tertulis sebagai PNS sejak ditetapkannya sebagai calon peserta Pemilu maupun Pilkada,
hal tersebut menunjukkan adanya pembatasan hak politik berupa hak untuk dipilih PNS dalam
Pemilihan Pejabat Publik.
PNS sebagai WNI memiliki hak untuk dipilih dalam Pemilihan Pejabat Publik yang telah
dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Namun, pengaturan netralitas tersebut adalah
bentuk penegakan hukum yang berorientasi pada jaminan PNS agar dapat memusatkan segala
perhatian, pikiran dan tenaga pada tugas yang dibebankan dengan baik dan optimal. Dalam
menjaga kualitas peran dan tugas utama dari PNS tersebut, maka pembatasan hak tersebut bukan
merupakan pelanggaran konstitusional, karena berdasarkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945,
negara dapat membatasi hak warga negara melalui Undang-Undang dan pembatasan tersebut
semata-mata ditujukan sebagai bentuk penghormatan atas hak untuk memperoleh pelayanan
profesional dan berkualitas dari PNS, pelaksanaan kebijakan publik oleh PNS sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, serta mampu menjaga persatuan dan kesatuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai tuntutan yang adil dengan mempertimbangkan aspek
moral, keamanan, dan ketertiban umum. |
en_US |