Abstract:
Penelitian ini dilakukan karena terdapat hal-hal yang berhubungan dengan layanan keuangan digital berupa fintech yang dapat menimbulkan kerugian terhadap konsumen khususnya di bidang sektor jasa keuangan. Dalam hal ini peneliti menggunakan metode penelitian yuridis normatif, guna menjawab pertanyaan tentang bagaimana perlindungan konsumen pengguna jasa fintech dan penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UU OJK. Guna menjawab hal tersebut perlu diketahui bahwa penanganan dan pengawasan hukum secara khusus dalam bidang sektor jasa keuangan dilakukan oleh OJK sebagai pengawas dan regulator. Hal tersebut yang mendasari dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang melindungi konsumen dalam sektor jasa keuangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang OJK. Dalam hal ini UU OJK tidak mencantumkan UUPK dalam bagian ‘mengingat’ yang tercantum di awal UU tersebut. Sedangkan UUPK merupakan Undang-undang yang berwenang mengatur dan menjamin kepastian konsumen, sehingga UUPK seharusnya dicantumkan pada bagian ‘mengingat’ dalam UU OJK. Lebih lanjut, meskipun sudah dilakukan pengawasan sedemikian rupa, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta telah menerima sebanyak 1.330 pengaduan korban pinjaman online. Dugaan pelanggaran tersebut tidak hanya dilakukan perusahaan fintech ilegal tapi juga fintech terdaftar atau yang telah memiliki izin dari OJK. Tercatat, sebanyak 25 perusahaan fintech legal melakukan pelanggaran hukum terhadap konsumen. Berdasarkan hal tersebut sebelum terjadinya sengketa, tindakan yang dilakukan OJK adalah mewajibkan perusahaan fintech yang akan mendirikan dan memulai kegiatan penyelenggaraan LPMUBTI untuk memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam POJK No. 77/2016 dan setelah terjadinya sengketa OJK dapat memberikan sanksi sesuai POJK 77/2016 dan konsumen juga dapat melakukan pengaduan melalui AFPI. Selain itu, OJK hanya memberikan fasilitas pelayanan penanganan pengaduan (conflict handling) dan tidak melakukan penanganan perkara (conflict resolution) bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku di LJK. OJK tidak melakukan atau menyediakan penanganan perkara / conflict resolution dikarenakan dalam UU OJK, OJK hanya menyediakan penanganan pengaduan, dan apabila melalui penanganan pengaduan tidak juga tercapai perdamaian, OJK tidak dapat membantu penyelesaian lebih lanjut dan penyelesaian dilarikan ke peradilan umum. Penyelesaian sengketa melalui LAPS itu sendiri tidak memiliki dasar hukum yang jelas, dikarenakan penyelesaian sengketa melalui LAPS tidak diatur dalam UU OJK, UU OJK hanya menyediakan penanganan pengaduan (conflict handling) bukan penanganan perkara (conflict resolution), dan conflict resolution hanya diatur dalam POJK No. 1/POJK.07/2014. Secara yuridis formal UU OJK harus mengatur pula mengenai penyelesaian sengketa, baru dapat diterapkan dalam POJK lainnya. Dalam hal ini, POJK tidak boleh bertentangan dengan peraturan Perundang-Undangan diatasnya, terlebih lagi dalam hal ini POJK hanya merupakan peraturan pelaksana. Lebih lanjut, timbul permasalahan mengenai LAPS yang hanya berada di Ibu kota Jakarta, solusi dari permasalahan tersebut adalah dengan menggunakan sarana Online Dispute Resolution (ODR) agar lebih menghemat waktu dan uang.