Abstract:
Setiap kegiatan manusia tentu menghasilkan limbah. Limbah sendiri dapat dibagi mejadi Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah Non-B3) dan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3). Pada penelitian ini penulis akan memfokuskan pada Limbah B3 karena sifatnya yang dapat merugikan manusia dan lingkungan. Permasalahan limbah B3 sendiri sudah menjadi permasalahan global sejak tahun 1980-an. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nation Environment Programm (UNEP) mengadakan suatu konvensi internasional di Basel, yaitu Basel Convention on The Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their Disposal Tahun 1989 (Konvensi Basel). Konvensi ini mengatur tentang perpindahan lintas batas wilayah dari limbah berbahaya serta pengaturan mengenai perngelolaannya, sehigga ekspor-impor Limbah B3 ini telah lama dilakukan secara khusus dari negara maju ke negara berkembang.
Di era industrial ini, sering kali lingkungan terkena dampak dari pertumbuhan industri dan perekonomian. Berkaitan dengan industri dan perekonomian, Jepang merupakan salah satu negara dengan industri dan pereknomian yang maju. Indonesia dan Jepang telah banyak melakukan hubungan ekonomi. Salah satunya hubungan tersebut dibentuk dalam suatu perjanjian bilateral, yaitu Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA). Salah satu komoditas perdagangan di dalam IJEPA adalah Limbah B3. Indonesia dan Jepang sama-sama pihak dalam Konvensi Basel, dimana ekspor-impor tersebut bisa dilakukan jika memenuhi berbagai persyaratan. Selain itu Indonesia dan Jepang merupakan pihak di dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT), yang memiliki prinsip liberalisasi. Masuknya limbah B3 ke dalam komoditas perdagangan di dalam IJEPA sebenarnya dapat dikesampingkan dengan Article 20 (2) GATT. Karena Indonesia pun tidak memenuhi syarat sebagai negara pengimpor menurut Konvensi Basel