Abstract:
Ahli waris yang berbeda agama dengan pewaris, dalam hukum Islam menjadi terhalang untuk mendapatkan warisan. Demi mengakomodasi hal tersebut, digunakanlah jalur wasiat wajibah. Tetapi, dalam sumber-sumber hukum Islam sangat menghalangi ahli waris yang berbeda agama mendapatkan warisan. Sedangkan dalam Pasal 209 KHI, wasiat wajibah hanya diperuntukan bagi anak angkat terhadap orang tua angkat dan sebaliknya. Hakim Pengadilan Agama dan Mahkamah Agung tidak jarang juga memberikan wasiat wajibah bagi ahli waris yang berbeda agama dengan segala pertimbangannya yang salah satunya pertimbangan keadilan dan kemanusiaan. Maka permasalahannya adalah apakah sumber hukum yang digunakan oleh para hakim tersebut sudah tepat atau tidak, dan apakah para hakim dapat memutus perkara diluar KHI. Permasalahan tersebut akan dijawab dengan penelitian secara normatif terhadap terhadap putusan Pengadilan Agama dan Mahkamah Agung, peraturan perundang-undangan yang mendasarinya dan literatur yang mendukung penelitian ini. Pengolahan data dilakukan secara kualitatif, sedangkan pengambilan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika deduksi. Berdasarkan hasil penelian dan tinjauan pustaka, sumber hukum para hakim yang memberikan wasiat wajibah kepada ahli waris yang berbeda agama dinilai tidak tepat karena sumber hukum yang dipakai para hakim seperti yurisprudensi dan doktrin dalam hierarki sumber hukum formal berada di bawah peraturan perundang-undangan, serta bertentangan dengan KHI dan sumber hukum Islam lain. Para hakim diperkenankan untuk melakukan penemuan hukum sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadist. Pasal 229 KHI juga memperkenankan para hakim agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat. Maka ketika para hakim ingin keluar dari KHI untuk memutus perkara ini, sumber-sumber hukum Islam lain pun menghalangi ahli waris yang berbeda agama untuk mendapatkan warisan.