Abstract:
Industri hiburan merupakan salah satu sub sektor dari industri kreatif yang diakui oleh Pemerintah Indonesia. Industri hiburan selaku salah satu penyumbang PDB yang besar dalam industri kreatif, menghasilkan produk yang bersifat intangible. Produk yang dihasilkan oleh industri seni pertunjukan merupakan proses cipta dan kreasi seniman yang diproduksi oleh produser (karya seni) atau event organizer (pertunjukan). Produksi karya dan pertunjukan yang dihasilkan kemudian dikomersialisasi ke dalam bentuk barang, audio, video, maupun live action untuk meningkatkan nilai jualnya. Penelitian ini berfokus pada seni pertunjukan (konser musik) yang dapat ditonton langsung, baik dalam ruang fisik (lapangan, gedung pertunjukan, teater, hotel, dan aula), analog (Televisi), maupun ruang digital (TV digital, Live stream, youtube, dan website).
Konser musik pada umumnya diselenggarakan dengan melibatkan minimal tiga pihak utama, yaitu pihak penyelenggara, pementas, dan vendor logistik. Penyelenggara merupakan aktor utama dalam produksi seni pertunjukan yang berkedudukan sebagai pengelola seluruh kegiatan, termasuk administrasi, pengaturan jadwal dan lokasi, pelaksanaan teknis pada hari kegiatan, dan menangani hal-hal yang berhubungan dengan pihak-pihak terkait (peserta, pemerintah terkait, dan pendukung). Pementas adalah seniman penghasil karya seni yang di pekerjakan oleh penyelenggara untuk mengisi konser musik. Sedangkan vendor logistik adalah penyedia dan pengelola tiket dan sistem pembayaran untuk kegiatan konser musik
Dalam sebuah pembuatan konser yang melibatkan penyelenggara, pementas, dan vendor logistik hubungan ketiganya diikat menggunakan perjanjian dalam sebuah kontrak. Kontrak yang dibuat tersebut menggunakan KUHPerdata dan juga Hukum Kebiasaan sebagai dasar hukumnya. KUHPerdata dan Hukum Kebiasaan digunakan sebagai pilihan utama dikarenakan dalam industri permusikan ini belum ada undang-undang yang menaunginya secara langsung. Rancangan Undang Undang Permusikan telah dibahas oleh DPR namun mendapat penolakan yang cukup keras dari individu-individu yang bersangkutan secara langsung dikarenakan dianggap belum sesuai dan beberapa pasalnya dianggap bermasalah. Masalah tersebut mengakibatkan RUU Permusikan dibatalkan dan para pihak dalam industri permusikan kembali menggunakan KUHPerdata dan Hukum Kebiasaan sebagai dasar hukum perjanjiannya.
Dalam penggunaan Hukum Kebiasaan dalam perjanjiannya, penulis menemukan frasa inter alia atau dalam terjemahannya yaitu ‘termasuk, namun tidak terbatas pada’ sebagai payung atau wadah dari Hukum Kebiasaan tersebut. Hukum Kebiasaan yang dinaungi frasa inter alia tersebut menimbulkan kerancuan di masyarakat yang penulis temukan karena frasa tersebut bukan bahasa sehari-hari, melainkan bahasa hukum yang biasa digunakan oleh para praktisi hukum. Atas dasar kebingungan dari masyarakat dan atas dasar Bakuning Hyang Mrih Guna Santyaya Bhakti maka penulis mengangkat topik ini menjadi bahan Penulisan Hukum