dc.description.abstract |
Manusia merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk social, tentu manusia perlu untuk bersosialisasi dengan sesama di mana perkawinan merupakan salah satu wujud dari sosialisasi antara pria dengan wanita. Dengan berkembangnya intesitas bersosialisasi antara pria dan wanita tentu akan terjalin ikatan yang lebih intim dan mendalam, kemudian pria dan wanita akan memutuskan untuk melakukan perkawinan. Perkawinan itu sendri diatur dalam Undang-Undang Perkawinan yang memiliki fungsi untuk mengesahkan perkawinan baik yang dilakukan secara agama maupun adat tertentu. Salah satu hal yang tidak bisa dilepaskan dalam perkawinan ialah pencatatan perkawinan. Adapun tujuan pencatatan perkawinan tersebut ialah sebagai salah satu syarat administratif serta menjadi bukti bahwa perkawinan tersebut sah dan diakui oleh negara. Pencatatan perkawinan sebagai salah satu syarat administratif memiliki implikasi yuridis dalam berbagai aspek kehidupan sebagai akibat dilakukannya perkawinan tersebut. Namun, di Indonesia sendiri masih terdapat beberapa kendala terkait pelaksanaan pencatatan perkawinan terutama berhubungan dengan nilai-nilai budaya dan agama atau kepercayaan, khususnya terkait dengan aliran penghayat kepercayaan. Salah satu faktornya terkait kepala penghayat atau pemuka penghayat kepercayaan serta terkait jangka waktu pencatatan perkawinan bagi penghayat aliran kepercayaan. Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 39 dan Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Sebagaimana telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. |
en_US |