dc.description.abstract |
Pada hakikatnya, Lembaga Praperadilan merupakan alat pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan Undang-Undang. Berdasarkan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kewenangan Praperadilan adalah menilai keabsahan suatu penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan dan juga ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan, namun seiring berkembangnya zama, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) No. 21//PUU-XII/2014 maka kewenangan Praperadilan pun bertambah dengan menilai keabsahan penetapan tersangka dan penggeledahan dan penyitaan. Namun, pada Putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel, Hakim telah melampaui kewenangannya dalam memutus suatu perkara Praperadilan dengan memerintahkan Termohon untuk melakukan proses hukum selanjutnya berupa penyidikan, dan menetapkan seseorang menjadi tersangka. Putusan tersebut telah melahirkan suatu norma baru yang mana hakim Praperadilan dapat memerintahkan Termohon (penyidik) untuk melakukan penetapan tersangka terhadap seseorang yang bukan pihak berperkara. Sehingga putusan tersebut dianggap telah menyimpang secara fundamental. Berdasarkan hasil analisa Penulis, Hakim Tunggal Praperadilan dalam perkara ini telah salah menerapkan hukum dan telah melampaui kewenangannya dalam memutus suatu perkara, sehingga diperlukan adanya pengkajian ulang mengenai peraturan Lembaga Praperadilan ini. |
en_US |