dc.description.abstract |
Teknologi Informasi telah membawa banyak hal positif bagi masyarakat, seperti lahirnya
transportasi daring sepeda motor. Layanan transportasi umum ini disambut baik oleh masyarakat
sebagai konsumen karena berbagai kemudahan yang mereka berikan. Para pengemudi transportasi
daring juga menyambut baik hadirnya layanan ini karena membuka banyak kesempatan kerja. Tetapi
para pengemudi tersebut bekerja tidak sebagai pekerja dalam suatu hubungan kerja dengan
Aplikator, melainkan bekerja sebagai mitra berdasarkan hubungan kemitraan. Ini membuat hak
mereka untuk berserikat dan berunding bersama menjadi tidak jelas perlindungannya berdasarkan
Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Serikat Pekerja. Konvensi ILO Nomor 87
dan Nomor 98 telah menyatakan hak berserikat dan berunding bersama sebagai hak asasi yang perlu
dilindungi, terlepas dari jenis hubungan kerja yang melekat pada pekerja. Dengan ditetapkannya
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019, penting untuk mengkaji mengenai
bagaimana Indonesia mengatur hak untuk berserikat dan berunding bersama.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Hasil analisis
menunjukkan bahwa hubungan kemitraan para pengemudi dengan aplikator menyebabkan mereka
bekerja di luar hubungan kerja sebagai pekerja mandiri. Klasifikasi pekerja berupa pekerja mandiri
juga memiliki hak untuk berserikat dan berunding bersama karena merupakan hak asasi, dan sebagai
negara anggota ILO yang telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98, Indonesia
seharusnya melindungi hak untuk berserikat dan berunding bersama bagi pekerja mandiri. Peraturan
perundang-undangan Indonesia mengenai ketenagakerjaan belum sepenuhnya sejalan dengan kedua
konvensi tersebut. Perlu pengaturan lebih lanjut terkait dengan hak berserikat dan berunding
bersama bagi pekerja mandiri di Indonesia. |
en_US |