dc.description.abstract |
Dalam era globalisasi dan informasi seperti sekarang ini, hak asasi manusia merupakan suatu paham yang berifat universal. Secara garis besar hak asasi manusia ini sendiri terbagi dalam dua rumpun, yaitu hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Masalah saat ini yang sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat adalah perampasan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya salah satunya adalah korupsi. Meningkatnya tindak pidana korupsi membawa dampak tidak hanya kepada kehidupan perekeonomian sosial namun pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Sanksi untuk tindak pidana korupsi ini telah diatur yaitu berupa kurungan penjara maupun denda. Namun, ada pula sanksi tambahan berupa pencabutan hak-hak yaitu salah satunya adalah pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis lebih lanjut mengenai landasan hukum hak politik terpidana korupsi serta untuk mengetahui apakah hak politik sudah sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif yaitu dengan menggunakan asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan serta putusan pengadilan yang terkait. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian pidana tambahan berupa pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi sangat dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Pasal 10 KUHP, dan Pasal 35 ayat (1) KUHP. Dengan adanya batasan limitasi waktu pencabutan hak politik sesuai dengan putusan MK No 4/PUUVII/2009 batasan pencabutan hak hanya berlaku selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukuman, maka pemberian hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik tidak melanggar HAM. |
en_US |