Abstract:
Dalam perkembangan hukum pertambangan mineral dan batubara terjadi perubahan
dari rezim kontrak menjadi rezim perizinan. Pada saat rezim kontrak penyelesaian sengketa
antara Pemerintah dengan penanam modal (investor) diselesaikan berdasarkan kesepakatan
Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B),
dimana para pihak dapat menentukan forum penyelesaian sengketa baik melalui arbitrase
nasional maupun internasional atas dasar kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara (UU Minerba), menentukan bahwa setiap sengketa yang muncul dalam
pelaksanaan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), atau Izin
Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase dalam
negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berubahnya rezim ini telah merubah posisi negara yang sebelumnya sejajar dalam
sebuah kontrak karena bertindak sebagai subyek hukum perdata menjadi lebih tinggi sebagai
regulator berada diatas perusahaan pertambangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ketentuan penyelesaian sengketa pada UU Minerba yang diatur pada pasal 154 menimbulkan
multitafsir dan bahkan tidak dapat dilaksanakan, karena dapat diartikan secara berbeda oleh
pihak-pihak yang berkepentingan, yang berakibat kepada ketidak-pastian hukum. Sehingga
untuk membangun kepastian hukum sesuai dengan kehendak dan kesepakatan subyek hukum
(yang bersengketa), maka ketentuan penyelesaian sengketa pada UU Minerba perlu diperjelas
dan dilakukan sinkronisasi dengan ketentuan perundang-undangan penanaman modal dan
arbitrase Indonesia, baik mengenai substansi maupun rumusannya.