Kewenangan praperadilan dalam memutus sah tidaknya penetapan tersangka dikaitkan dengan prinsip Due Process of Law dalam sistem peradilan pidana Indonesia

Show simple item record

dc.contributor.advisor Claudia, Nefa
dc.contributor.author Masrur, Fikri Akbar Hadithna
dc.date.accessioned 2020-02-25T04:31:44Z
dc.date.available 2020-02-25T04:31:44Z
dc.date.issued 2019
dc.identifier.other skp38856
dc.identifier.uri http://hdl.handle.net/123456789/10247
dc.description 4445 - FH en_US
dc.description.abstract Praperadilan menurut Pasal 1 butir 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan, dan permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Mengenai wewenang praperadilan terdapat di dalam Pasal 77 yang menyebutkan bahwa praperadilan berwenang untuk memeriksa dan memutus mengenai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dan mengenai ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Kemudian pada tahun 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 yang pada intinya menambahkan ruang lingkup wewenang praperadilan yang semula telah ditetapkan secara limitatif di dalam Pasal 77 KUHAP. Ruang lingkup yang ditambahkan oleh MK adalah mengenai pengujian sah tidaknya status tersangka seseorang. Perluasan tersebut kemudian diamini oleh beberapa hakim iv yang menganggap bahwa penetapan status tersangka seseorang haruslah dimasukkan ke dalam wewenang praperadilan dengan berbagai alasan. Mengenai perluasan wewenang praperadilan tersebut, sudah pasti menimbulkan perbedaan pendapat dan pandangan, khususnya di antara para hakim, karena terdapat hakim yang menolak gugatan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan status tersangka, dan bahkan terdapat juga hakim yang sama sekali tidak menganggap penetapan status tersangka merupakan obyek praperadilan. Hal tersebut mengakibatkan ketidakjelasan dan perbedaan tafsir dari kalangan para hakim mengenai penetapan status tersangka. Oleh karena itu, dibutuhkan penjelasan dan solusi terhadap persoalan yang terjadi setelah perluasan ruang lingkup wewenang praperadilan yang dilakukan oleh MK dengan dikeluarkannya Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014. en_US
dc.language.iso Indonesia en_US
dc.publisher Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum - UNPAR en_US
dc.subject Praperadilan en_US
dc.subject Penetapan Tersangka en_US
dc.subject Due Process of Law en_US
dc.subject Asas Legalitas en_US
dc.title Kewenangan praperadilan dalam memutus sah tidaknya penetapan tersangka dikaitkan dengan prinsip Due Process of Law dalam sistem peradilan pidana Indonesia en_US
dc.type Undergraduate Theses en_US
dc.identifier.nim/npm NPM2014200215
dc.identifier.nidn/nidk NIDN0428108604
dc.identifier.kodeprodi KODEPRODI605#Ilmu Hukum


Files in this item

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record

Search UNPAR-IR


Advanced Search

Browse

My Account