dc.description.abstract |
Pengembalian aset yang diperoleh dari hasil korupsi tersebut dapat dilakukan dengan
berbagai cara, salah satu cara dengan penggunaan instrumen perdata dalam pengembalian
kerugian keuangan negara, prosedur pengembalian aset sepenuhnya tunduk kepada
ketentuan hukum perdata yang berlaku, baik materiil maupun formil.
Mengingat sistem perundang-undangan yang tidak fleksibel dan selalu dituntut untuk
dilakukan perubahan dan pembaharuan sesuai keadaan yang terjadi. Menjadi sebuah
polemik ketika pelaku tindak pidana korupsi menikmati hasil kejahatannya (aset) dengan
digunakan untuk kepentingan pribadi atau bahkan kepentingan bersama dengan pihak
lainnya, maka dari itu akan terjadi pencampuran kepentingan- kepentingan yang ada, serta
adanya penyatuan harta kekayaan. Sebagai contoh adalah apabila aset kejahatan korupsi
tersebut dijadikan andil dalam sebuah persekutuan untuk usaha, sehingga adanya
penggabungan aset yang akan digunakan sebagai permodalan usaha sehingga pada kondisi
seperti ini telah ada pihak yang terkait dalam kepentingannya (pihak ketiga).
Jika harta kejahatan tersebut telah berpindah tangan atau dikuasa oleh pihak lain maka
secara langsung atau tidak langsung tindakan perampasan dilakukan terhadap aset tersebut
tanpa melihat keberadaan harta tersebut berada dalam penguasaan siapa, dan berdasarkan
perlindungan hukum pada pasal 19 UU TIPIKOR, diberikan upaya terhadap pihak-pihak yang
merasa dirugikan atas tindakan perampasan aset tersebut untuk melakukan keberatan
dengan melakukan pembuktian terbalik.
Jadi didalam perlindungan sendiri bahwa pembeli yang beritikad baik salah satu cara
pengalihan kepada pihak ketiga dengan berbagai modus tersebut juga tidak dapat dipungkiri
aset yang diduga dari hasil korupsi tersebut telah dilakukan jual beli oleh pelaku tindak
pidana kepada pihak ketiga. |
en_US |