Abstract:
Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana yang termasuk dalam golongan kejahatan luar biasa karena efek kerugian yang ditimbulkan sangat besar dan dapat mengancam masa depan kehidupan bangsa. Peredaran narkotika di Indonesia pun telah menjadi masalah yang serius. Sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam menanggapi kasus tindak pidana narkotika, pemerintah meratifikasi United Nations Convention Againts Illicit Traffic In Narcotic Drugs and Psychotropic Substance 1988 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Illicit Traffic In Narcotic Drugs and Psychotropic Substance 1988. Selain itu juga pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang saat ini telah diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Di tengah keseriusan pemerintah Indonesia dalam menanggulangi peredaran dan tindak pidana narkotika, pada tahun 2012 yang lalu Presiden Indonesia pada saat itu memberikan grasi kepada salah satu terpidana pengedar narkotika. Namun tidak hanya sampai disitu saja, pemberian grasi kepada narapidana pengedar narkotika juga diberikan kepada beberapa terpidana pengedar narkotika yang lainnya. Lalu muncul pertanyaan apakah perlu terpidana pengedar narkotika diberikan grasi.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dalam penelitian ini digunakan metode penelitian yuridis normatif, di mana dengan menggunakan metode ini akan dikaji teori-teori, konsep-konsep dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan variabel penelitian ini dalam hal ini pengedar narkotika dan grasi.