dc.description.abstract |
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria memberikan batasan mengenai hak atas tanah yang dapat
dimiliki oleh orang asing, terutama mengenai tanah dengan status hak
milik. Pasal 21 ayat (1) UUPA mengatakan bahwa hanya Warga Negara
Indonesia (WNI) yang dapat mempunyai hak milik. Namun dalam
praktiknya, marak ditemukan penguasaan hak milik atas tanah oleh orang
asing melalui perjanjian nominee seperti dalam kasus yang telah diputus
oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan MA Nomor
3403 K/Pdt/2016 antara Karpika Wati melawan Alain Maurice Pons.
Perjanjian nominee adalah perjanjian yang menggunakan kuasa yaitu
perjanjian yang menggunakan nama WNI dan pihak WNI menyerahkan
surat kuasa kepada orang asing untuk bebas melakukan perbuatan hukum
terhadap tanah yang dimilikinya. Perjanjian nominee sering juga disebut
dengan istilah perwakilan atau pinjam nama.
Pembuatan perjanjian nominee tersebut tidak terlepas dari peran seorang
Pejabat Pembuat Akta Tanah atau PPAT karena secara tidak langsung
terdapat suatu peralihan hak atas tanah dari WNI kepada orang asing.
Latar belakang di atas melahirkan pertanyaan hukum untuk dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai peran PPAT dan kewenangannya untuk
mencegah terjadinya perjanjian nominee dengan menggunakan metode
yuridis normatif. Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti
menggunakan bahan pustaka yang lebih menekankan pada penggunaan
norma-norma hukum tertulis, seperti peraturan perundang-undangan dan
putusan pengadilan untuk memberikan pemaparan analisis mengenai objek
penelitian disertai dengan pemberian solusi. |
en_US |