dc.description.abstract |
Manusia merupakan mahluk sosial, oleh karena itu manusia selalu
membutuhkan orang lain. Ketergantungan manusia akan orang lain menyebabkan
adanya perkawinan antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Namun tidak semua perkawinan
dapat bertahan hingga harus menghadapi suatu perceraian. Penyebab perceraian ini
sangat beragam, salah satu yang dapat menjadi sebab terjadinya perceraian adalah
tidak dapat dilaksanakannya kewajiban berupa pemenuhan nafkah batin kepada istri
atau suami seperti karena pasangan mempunyai penyimpangan seksual yaitu berupa
homoseksual yang dimiliki oleh suami. Tetapi apakah penyimpangan seksual ini
dapat menjadi suatu alasan perceraian mengingat di dalam hukum kita yaitu dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UUP) dan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak mengatur secara tegas bahwa penyimpangan
seksual dapat menjadi alasan perceraian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan meneliti apakah homoseksual
yang dimiliki oleh suami dapat menjadi alasan perceraian yang diajukan oleh istri
ke Pengadilan menurut KHI dan UUP, mengingat dalam kedua peraturan tersebut
tidak diatur secara tegas penyimpangan seksual dapat menjadi alasan perceraian,
padahal kewajiban suami memberikan nafkah batin kepada istri tidak dapat
terlaksana karena suami seorang homoseksual.
Metode penelitian dalam skripsi ini adalah metode penelitian yuridis
normatif. Pendekatan yuridis-normatif ini adalah penelitian terhadap asas-asas
hukum, norma dan kaidah-kaidah hukum. Metode penelitian ini dilakukan dengan
cara meneliti bahan-bahan pustaka. Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis, yaitu
dengan membuat gambaran-gambaran secara sistematis, faktual, aktual mengenai
fakta-fakta, kondisi, situasi atau permasalahan yang hendak dianalisis.
Hasil yang diperoleh dari penelitian penulisan hukum ini yaitu bahwa
homoseksual yang menyebabkan suami tidak dapat lagi melaksanakan
kewajibannya berupa pemenuhan nafkah batin kepada istri, maka jika dilihat secara perspektif Islam homoseksual ini termasuk dalam kategori penyakit sehingga
Hakim dapat langsung diterapkan Pasal 19 huruf (e) PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal
116 huruf (e) KHI sebagai alasan perceraian. Tetapi jika dilihat secara psikologi,
homoseksual ini tidak termasuk ke dalam penyakit maka Hakim dapat memutuskan
cerai dengan Pasal 19 huruf (a) PP No. 9 Tahun 1975 dengan penafsiran ekstensif,
atau menggunakan konstruksi hukum analogi pada Pasal 19 huruf (e) PP No. 9
Tahun 1975. Dan jika homoseksual merupakan pemicu terjadinya perceraian maka
Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 dapat menjadi dasar hukum perceraian.
Sehingga pada dasarnya jika suami merupakan seorang homoseksual maka dapat
diajukan gugatan cerai oleh istri, di mana Hakim memutus dengan memperhatikan
fakta yang terjadinya. |
en_US |