Abstract:
Keraton Yogyakarta merupakan keraton di Jawa yang dibangun pada pertengahan abad ke-18. Keraton Yogyakarta sudah melalui banyak titik kurun waktu budaya, di mana masing-masing kurun waktu tersebut memiliki ciri khas tersendiri. Budaya-budaya tersebut merupakan kegiatan sehari-hari hingga kegiatan-kegiatan yang lebih spesifik dan mempengaruhi kebutuhan yang menciptakan pola ruang. Dilihat dari sudut pandang arsitektur, berbagai macam budaya yang ada di Jawa saat itu mengakibatkan adanya percampuran antar budaya secara prinsip penataan ruang dan massa, sehingga Keraton Yogyakarta memiliki unsur-unsur budaya tersebut dalam pola tata ruang dan massanya. Terlebih lagi, saat Keraton Yogyakarta dibangun, Indonesia sedang berada pada masa kolonialisasi Belanda. Budaya-budaya yang ada di Jawa saat itu adalah Hindu, Islam, Tiongkok, dan Kolonial.
Metode analisis yang dilakukan adalah secara linier. Karena Keraton Yogyakarta dirancang dan dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono I, dengan masing-masing Sultan Yogyakarta memiliki wewenang untuk mengubah keraton, data dianalisis dengan membahas sejarah perkembangan tata ruang berdasarkan pergantian takhta kesultanan. Analisis prinsip tata ruang yang mendasari berdirinya Keraton Yogyakarta dilakukan dengan cara melakukan komparasi tata ruang budaya-budaya yang ada di Jawa pada masa itu, yaitu Hindu, Islam, Tiongkok, dan Kolonial.
Penelitian ini bertujuan untuk mengenali perkembangan serta latar belakang budaya yang mendasari tata ruang dan massa pada Keraton Yogyakarta. Penelitian ini diharapkan agar dapat bermanfaat dalam memperluas pengetahuan mengenai sejarah dan keragaman budaya yang ada di Indonesia terkait bidang arsitektur, serta dapat menambah wawasan mengenai prinsip penataan ruang dan massa berdasarkan teori dan budaya.
Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah bahwa prinsip penataan ruang dan massa pada Keraton Yogyakarta paling banyak dipengaruhi oleh budaya lokal yaitu Jawa-Hindu dan Jawa-Islam, sedangkan budaya luar tidak mempengaruhi tata ruang dan massa pada Keraton Yogyakarta. Temuan lainnya adalah bahwa meskipun terdapat penambahan massa bangunan, prinsip penataan ruang dan massa pada Keraton Yogyakarta tidak mengalami perubahan. Didapatkan juga bahwa budaya luar tidak mempengaruhi prinsip penataan ruang dan massa, namun mempengaruhi elemen-elemen arsitektur pada skala yang lebih kecil yaitu wujud, tampilan, dan ornamen pada bangunan. Hal ini memperlihatkan bahwa tata ruang dan massa berlandaskan pada budaya yang sudah ada sejak lama, karena budaya menghasilkan pola kegiatan yang menghasilkan pola kebutuhan ruang, sedangkan budaya luar yang relatif baru tidak mampu mengubah pola kebutuhan ruang. Tata ruang dan massa adalah sesuatu yang sangat penting karena merupakan perantara hubungan manusia dengan arsitektur.