Abstract:
Istilah “masyarakat tontonan” digunakan oleh Guy Debord untuk mengacu
pada masyarakat Posmodern yang amat tergila-gila pada pengakuan eksternal.
Dalam rangka mendapatkan pengakuan tersebut, yang menjadi perhatian utama
masyarakat tontonan pada dasarnya adalah untuk selalu menjadi “lebih” daripada
yang lain, khususnya dalam hal tampilan eksternal. “The more the merrier”.
Adagium ini tampaknya sangat melukiskan prinsip dasar masyarakat tontonan,
juga cara masyarakat tersebut memandang “diri. “Diri” adalah kumpulan
ekspektasi, pengalaman, dan hal-hal material apapun yang dapat kita temukan
dalam keseharian. Koherensi ataupun kualitas dari kumpulan tersebut tidaklah
penting bagi masyarakat tontonan. Yang terpenting adalah memenuhi sebanyak
mungkin ekspektasi eksternal, memiliki sebanyak mungkin pengalaman, dan
memiliki lebih banyak materi. Persoalannya, karena tidak memiliki koherensi,
identitas semacam ini menjadi mudah goyah. Diri menjadi diri yang terpecah; diri
yang menyerap apa saja dan ter-serap ke dalam apa saja. Penulis melihat bahwa
pandangan Posmodern atas diri tersebut tidaklah sehat dan amat bertentangan
dengan naluri kemanusiaan kita yang menuntut adanya sebentuk koherensi dan
keseimbangan. Sementara itu, identitas yang koheren dan seimbang menuntut
adanya daya reflektif. Dalam tulisan ini, penulis menemukan bahwa seni, literatur,
aktivitas-aktivitas kontemplatif, dan agama yang dihayati secara proporsional
nyatanya tidak cukup memadai untuk kita jadikan sebagai jalan yang dapat
memunculkan daya reflektif. Ini dikarenakan untuk dapat memahami pentingnya
hal-hal tersebut, kita harus memiliki daya reflektif itu sendiri terlebih dahulu.
Oleh sebab itu, penulis berpendapat bahwa cara terbaik untuk memantik daya
reflektif tersebut adalah apa yang kita kenal sebagai “situasi batas”. Pengalaman
berjumpa dengan situasi batas akan menuntun kita pada realitas yang kompleks
dan multi-dimensional; pandangan holistik.