Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk menunjukan implementasi pilar-pilar kebijakan Global Maritime Fulcrum (GMF) terkait isu kedaulatan di Kepulauan Natuna. Indonesia yang pada awalnya berstatus non-claimants state dalam sengketa
Laut Cina Selatan, mengalami perubahan menjadi ‘pihak yang berkepentingan’. Posisi ini menghadapkan Indonesia kepada dua pilihan: tetap menjadi honest broker antara Tiongkok dan negara claimants atau menindaklanjuti klaim 9 dash line oleh Tiongkok atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Kepulauan Natuna yang mengancam teritori negara. Pilihan tersebut berpengaruh kepada perwujudan cita-cita untuk menjadi poros maritim dunia. Indonesia pun merespon dengan pembuatan kebijakan GMF sebagai acuan bagi kerangka kerja kementerian/lembaga untuk mencapai keamanan nasional, khususnya Kepulauan Natuna. Dengan menggunakan konsep Agent-Structure Christopher Hill (2003) dan konsep ‘International Role of Domestic Bureaucracy’ Raymond F. Hopkins (1976), penulis menemukan bahwa kementerian/lembaga sudah melaksanakan program-program sesuai rencana strategis masing-masing dan terbukti menurunkan potensi klaim atas Natuna, namun masih belum sinergis dalam mengimplementasikan pilar-pilar dalam GMF.