Abstract:
Nigeria merupakan salah satu negara di Sub-Sahara Afrika yang diselimuti oleh penyakit HIV/AIDS sejak tahun 1980an. Kondisi itu membuat Nigeria dapat menggunakan hak compulsory licensing untuk menyelesaikan epidemik di negaranya. Hak tersebut merupakan bagian dari Perjanjian TRIPS yang dibentuk WTO untuk menyamakan standar HAKI di setiap negara. Dengan menggunakan hak compulsory licensing, negara yang berada dalam kondisi epidemik dapat mendapatkan obat-obatan yang dipatenkan dengan harga yang terjangkau. Karena sejak TRIPS tercipta, obat menjadi produk yang dipatenkan sehingga harganya menjadi sangat tinggi, dan kemampuan negara-negara berkembang termasuk Nigeria tidak begitu kuat untuk mendapatkan obat-obatan yang dibutuhkan. Pada tahun 2008, Nigeria gagal mendapatkan obat-obatan HIV/AIDS yang disebut Abacavir. Obat-obatan itu dibeli melalui proses compulsory licensing dan dibantu oleh UNITAID. Abacavir yang dibeli dimaksudkan untuk mengobati 166 orang dalam tiga bulan yang kemudian ditahan oleh pihak Eropa. Aturan hukum mengenai compulsory licensing telah tertulis namun pihak Eropa tetap dapat membuat Nigeria tidak berhasil mendapatkan obat-obatan tersebut. Terdapat konstelasi kekuatan yang menyulitkan negara-negara berkembang. Pada tahun 2007, Thailand mengalami hal serupa. Perolehan obat menggunakan compulsory licensing digagalkan oleh Amerika Serikat, sedangkan Amerika Serikat sendiri berhasil mengancam industri farmasi asal Jerman untuk mendapatkan obat-obatan dengan harga lebih rendah. Perlakuan diskriminasi masih terjadi dan negara maju seringkali mengabaikan situasi yang perlu ditangani di negara berkembang apabila bersangkutan dengan ekonomi.