Abstract:
Menurut sejarah, korporasi sudah ada di Indonesia sejak 1602, masuknya korporasi
Vereenigde Oostindische Compagnie mulainya kolonialisme yang dengan asas
konkordansi memberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Netherlandsch Indie
sebagai hukum pidana di Indonesia dengan Pasal 59 selaras prinsip Universitas
delinguere nonpotest. Mempertimbangkan kecenderungan korporasi yang saling
mendominasi baik terhadap Orang maupun Negara dan tendensi melakukan tindak
pidana, Indonesia pertama kalinya menyatakan korporasi subjek hukum pidana
melalui UU No. 17 Tahun 1951 Tentang Penimbunan Barang. Kini hukum pidana
korporasi Materil berkembang lebih dari seratus perundang-undangan, dan menurut
para sarjana hukum bagai hutan belukar yang sulit diambil manfaatnya, berikut
hukum acara pidana korporasi Formil yang fragmenter, berupa PERJA No. PER-
028/A /JA/2014 Tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana Subjek Hukum
Korporasi, KUHAP, dan terakhir terbit Pra (calon) Paradigma Baru PERMA No.
13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh
Korporasi, namun anomali tidak berdayaguna berhasilguna dalam penegakannya.
Penelitian dilakukan dengan metode yuridis normatif, kerangka berpikir deduktif
dan kebenaran koheren. Disimpulkan, Pertama, ditemukan “penyebab dari suatu
penyebab yang menjadi penyebab dari penyebab berikutnya” (causa causae est
causa causati) berupa “kendala Konstitusional” pergeseran makna Badan
Kehakiman dalam “arti luas” Pasal 24 UUD 1945 jadi “arti sempit” dalam Pasal 24
UUDNRI 1945 (amandemen), dan “kendala Perundang-undangan” PERMA
13/2016 belum memenuhi syarat pembentukan Undang-undang yang baik sebagai
hukum pidana korporasi Formil menurut UU No. 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sehingga urgen direformasi
hierarkinya setara Undang-undang, serta kendala model pertanggungjawaban
pidana korporasi “Teori Identifikasi” dalam RUUKUHP 2015 direformasi dengan
“Doktrin Agregasi” guna kepastian hukum berkeadilan, Kedua, perlu reformasi
politik penegakan pertanggungjawaban pidana korporasi substansial, struktural,
kultural dengan paradigma baru sistematis integral bentuk “Mediasi Penal” “Pidana
Berbayar” Pasal 82 RUUKUHP 2015, korporasi dapat “mengaku bersalah/tidak
mengaku bersalah” di tahap Penyelidikan, Penyidikan, Prapenuntutan, kecuali
sudah memasuki Pemeriksaan Pengadilan pada sistem peradilan pidana Indonesia.