Abstract:
Dalam perjalanan panjang untuk mencapai kemerdekaannya yang utuh (de jure dan de facto), Palestina sebagai negara kuasi telah menembuh berbagai jalur termasuk diantaranya jalur militer dan diplomasi dimana keduanya menemui kegagalan. Kali ini, peneliti menggunakan instrumen hukum dalam hal ini melalui lembaga International Criminal Court untuk meningkatkan posisi bargaining power Palestina dalam negosiasi sehingga dapat mencapai status quo yang merupakan cerminan dari kepentingan nasional Palestina akan kemerdekaannya.
Posisi bargaining power sebagai bentuk power yang hendak diraih Palestina dalam negosiasi dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep yang dikemukakan oleh Thomas Schelling yang digunakan peneliti dimana posisi bargaining power suatu pihak bergantung pada kemampuan pihak tersebut dalam memberikan ancaman dan janji yang kredibel.Maka dari itu, pertanyaan penelitian yang muncul dalam karya tulis ini adalah, “Bagaimana posisi bargaining power Palestina (PA) menggunakan International Criminal Court sebagai instrumen hukum?” Agar dapat menjawab pertanyaan penelitian secara detail dan menyeluruh, penulis mengunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data studi kepustakaan dalam menyusun tulisan ini. Data yang dihimpun juga akan dilengkapi oleh konsep sehingga dapat menjawab pertanyaan penelitian.
Analisa di dalam penelitian ini menghasilkan temuan mengenai posisi bargaining power Palestina sebelum dan setelah menggunakan ICC sebagai instrumen hukum. Pertama, posisi bargaining power Palestina sebelum melakukan instrumentalisasi ICC cukup lemah karena memberikan ancaman yang diberikan tidak kredibel dan Palestina tidak mampu memberikan janji. Selanjutnya, peneliti mendapatkan bahwa setelah melakukan instrumentalisasi ICC, Palestina masih tidak mampu memberikan ancaman yang kredibel dan tidak mampu memberikan janji sehingga Palestina masih tidak dapat mencapai status quonya yang merupakan cerminan dari tidak tercapainya kepentingan nasionalnya.