dc.description.abstract |
Manusia merupakan mahluk sosial oleh karena itu manusia selalu membutuhkan orang lain. Ketergantungan manusia akan orang lain mengakibatkan terjadinya perkawinan antara manusia tersebut dengan tujuan membentuk kelkuarga yang bahagia dan kekal. Namun tidak semua perkawinan dapat bertahan untuk selama-lamanya hingga harus menghadapi suatu perceraian.
Penyebabnya Perceraian tentunya sangat beragam, salah satunya adalah karena zina. Zina menimbulkan keraguan terhadap anak yang dikandung atau bahkan yang telah dilahirkan oleh istrinya tersebut. Perceraian yang dikarenakan adanya perzinaan disebut dengan perceraian li’an dalam Hukum Islam. Adanya perceraian li’an ini mengakibatkan ayah menjadi mengingkari nasab anaknya. Perceraian li’an ini pun berakibat pada kewajiban alimentasi bagi pihak ibu maupun anak yang telah diingkari oleh ayahnya tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan merumuskan mengenai kewajiban alimentasi terhadap pasangan yang telah bercerai secara li’an dan bagaimana kewajiban alimentasi terhadap anak korban perceraian li’an yang telah berhasil membuktikan bahwa ia merupakan anak kandung menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
Metode penelitian dalam skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder untuk mencari data sekunder. Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis dengan memberikan gambaran mengenai situasi atau peristiwa tentang objek yang diteliti dan dianalisis secara kualitatif. Tahap penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan yang diperoleh melalui peraturan perundang-undangan, literatur, serta sumber lain yang terkait Data-data tersebut kemudian dianalisis secara yuridis normatif.
Terdapat dua hal yang diperoleh melalui penelitian ini. Pertama, kewajiban alimentasi sama-sama diatur di dalam Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) namun perbedaanya adalah apabila dihadapkan dengan perceraian Kompilasi Hukum Islam (KHI) melihat alasan perceraianya terlebih dahulu sebelum menetapkan kewajiban alimentasi sedangkan di dalam Undang-undang Perkawinan tidak melihat alasan perceraian. Kedua, apabila anak yang menjadi korban dari perceraian li’’an tersebut berhasil membuktikan bahwa ia anak kandung maka menurut Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 anak tersebut kembali menjadi anak kandung dan mendapatkan kewajiban alimentasi namun dalam Hukum Islam belum diatur mengenai hal tesebut sehingga perlu adanya aturan lebih lanjut mengenai hal tesebut. |
en_US |