Abstract:
Penelitian ini menganalisis Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berkaitan dengan definisi mengenai keuangan negara. Persoalan yang kemudian timbul adalah ketika terdapat perbedaan definisi mengenai keuangan negara yang diatur dalam undang-undang tersebut, sehingga ketika Direksi BUMN mengeluarkan kebijakan yang mengakibatkan kerugian, maka oleh aparat penegak hukum dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang merupakan penelitian dengan menggunakan data sekunder,. Sumber hukum primer dalam penelitian ini adalah KUHP Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sumber hukum sekunder terdiri dari buku-buku dan artikel-artikel tentang BUMN dan tindak pidana korupsi. Sumber hukum tersier terdiri dari kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah 1) Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung mengenai kerugian negara dalam BUMN dengan mengacu pada definisi keuangan negara yang diatur dalam undang-undang keuangan negara dan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah suatu kekeliruan. Hal tersebut dikarenakan dalam menentukan adanya kerugian negara atas keputusan yang dilakukan oleh Direksi BUMN adalah dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. 2) Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung yang menyatakan memberikan security deposit yang sebenarnya sesuai dengan perjanjian, namun menyebabkan kerugian negara merupakan tindak pidana korupsi adalah suatu kekeliruan. Hal tersebut dikarenakan Majelis Hakim Mahkamah Agung tidak mempertimbangkan faktor mens rea (niat jahat) dari Hotasi Nababan.