Abstract:
Secara teori, intervensi kemanusiaan dapat memiliki dua wajah yang kontras; antara solutif atau tidak ramah. Untuk menghindari yang kedua, hal demikian berkembang dari hak untuk mengintervensi menjadi kewajiban untuk melindungi. Prinsip yang disebut Responsibility to Protect (R2P), pertama kali diperkenalkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2005, turut mendukung upaya kolektif masyarakat internasional untuk membantu negara-negara yang sedang dilanda konflik. Namun, konflik yang berasal dari bencana alam menimbulkan prekondisi tentang kedaulatan, dimana dalam menjalankan R2P negara tuan rumah harus secara eksplisit mengizinkan dan/atau memberikan undangan untuk melakukan intervensi kemanusiaan terlebih dahulu. Apakah hal tersebut cukup menjamin kelancaran pelaksanaannya? Ketika gempa melanda Nepal pada 25 April 2015, negara itu mengalami kehancuran yang signifikan. Pada saat bersamaan, merupakan momen yang menentukan pula bagi negara-negara lain dan masyarakat internasional untuk melakukan R2P. Penulis mengambil Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang dilakukan oleh Indonesia sebagai studi kasus, di mana militer Indonesia pergi ke Nepal untuk rangkaian kegiatan tersebut, termasuk pengiriman bantuan kemanusiaan dan Search & Rescue (SAR). Penelitian didasarkan dari 2015 hingga 2017, yang didukung oleh dari kajian literatur, wawancara dengan korban bencana, relawan, serta pejabat pemerintah Nepal di antara bulan Oktober-November 2016.
Penulis telah menemukan banyak bukti bahwa Nepal, sebagai negara yang terkena bencana, memberikan merespons yang relatif negatif terhadap R2P karena kedaulatan dan keengganannya untuk mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan. Oleh karena itu, dari perspektif Indonesia sebagai pemberi intervensi kemanusiaan, negara menghadapi kesulitan besar dalam proses mencoba implementasi R2P. Kedaulatan negara tuan rumah berdiri sebagai penghalang implementasi R2P, alih-alih menjadi gerbang pertama R2P. Rekomendasi dari penulis adalah agar PBB modifikasi prinsip R2P agar lebih fleksibel, dengan mempertimbangkan kedaulatan dan keamanan rakyat juga, bukan hanya kedaulatan negara.