Abstract:
Perkembangan hukum perjanjian melahirkan asas baru yaitu asas keseimbangan yang menyatakan bahwa suatu perjanjian mengikat sepanjang dilandasi keseimbangan kepentingan di antara para pihak. Hukum perjanjian di Indonesia mengenal perjanjian hibah yaitu perjanjian sepihak yang hanya menunjukkan prestasi dari satu pihak saja. Pada umumnya untuk menilai kekuatan mengikat perjanjian didasarkan atas syarat sahnya perjanjian. Munculnya asas keseimbangan kemudian menimbulkan permasalahan yang menjadi fokus utama dalam penulisan hukum ini, berkaitan dengan landasan kekuatan mengikat suatu perjanjian khususnya dalam perjanjian hibah.
Meskipun tidak terdapat ketentuan yang mengatur berlakunya asas keseimbangan dalam hukum perjanjian Indonesia, namun penerapan asas keseimbangan secara tidak langsung terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Ditekankannya “kesepakatan”, “pelaksanaan dengan itikad baik” serta terikatnya perjanjian dengan “kepatutan, kebiasaan dan undang-undang” menunjukkan bahwa dalam suatu perjanjian sebaiknya ada keseimbangan di antara para pihak sehingga menciptakan rasa keadilan. Suatu perjanjian yang tidak seimbang tidak mempunyai kekuatan mengikat sebab bertentangan dengan itikad baik, rasa keadilan, dan kepatutan. Sebagai akibatnya perjanjian yang tidak seimbang dapat dimintakan pembatalan perjanjian.