Abstract:
Menurut definisi tenaga kerja dan definisi pekerja yang ada pada Undang-Undang Ketenagakerjaan pada pasal 1 butir 2 dan 3 dapat disimpulkan bahwa pekerja/Buruh merupakan tenaga kerja yang mempunyai hak-hak untuk dipenuhi apabila telah melakukan suatu pekerjaan sebagai bentuk kontraprestasi. Di dalam hukum perdata terdapat hak perdata, hak perdata dibagi menjadi dua macam yaitu hak yang bersifat mutlak dan yang bersifat relatif, yang dimaksud hak yang bersifat relatif/hak perseorangan, yaitu hak-hak yang timbul dari adanya hubungan perikatan baik yang bersumber pada perjanjian maupun Undang-Undang. Diluar itu terdapat yang namanya hak negara yang mana kegunaannya untuk untuk menarik sejumlah uang atau barang tertentu dari penduduk yang dapat dipaksakan dengan bentuk peraturan perundang-undangan. Pada tanggal 27 Juni 2013 telah diajukan Judicial Review terhadap frasa “didahulukan” yang ada pada pasal 95 ayat 4 UU Ketenagakerjaan, yang mana kepentingan konstitusional atas keberadaan pasal tersebut menjadi salah satu jaminan kepastian hukum, terutama terkait hak buruh dalam hal perusahaan pailit atau dilikuidasi. Pada 11 september 2014, Mahkamah Konstitusi memberikan putusan dengan hasil akhir mendahulukan pembayaran upah buruh dalam hal kepailitan. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini tentunya menjadi permasalahan, karena diketahui hak-hak dari para kreditor diatur dalam beberapa Undang-Undang sehingga kedudukan antara satu dan lainnya tumpang tindih, sehingga menimbulkan kebingungan serta ketidakjelasan peringkatnya, juga mana yang harus didahulukan. Tujuan studi kasus ini adalah untuk mengetahui sudah tepatkah kinerja Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi ini, serta menafsirkan bagaimanakah kedudukan upah sebagai piutang, setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi, dan setelah dikaitkan oleh Perundang-Undangan yang juga mengatur tentang kreditor-kreditor dalam kepailitan.
Berdasarkan studi kasus yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa pemisahan hak buruh dan upah buruh terkait permasalahan ini adalah tepat karena upah buruh merupakan esensi paling utama dari keseluruhan hak buruh lainnya, namun dalam pemenuhan upah buruh tetap harus berdasarkan PP No.78/2015 Tentang Pengupahan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi yang mendahulukan upah buruh diatas semua kreditor baik separatis maupun preferen sudah tepat. sesuai dengan asas lex specialis maka untuk permasalahan ketenagakerjaan tentunya tetap mengikuti perundang-undangan yang lebih khusus yaitu Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan-peraturan di bawahnya. Selanjutnya terdapat Hak Negara untuk memungut pajak, dalam hal ini menduduki sebagai kreditor setelah upah buruh, Sebab pajak akan dipergunakan untuk pembangunan negara dan masyarakat Indonesia, termasuk untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi pekerja/buruh Indonesia (pekerja/buruh yang terkena dalam PHK akibat perusahaan mengalami kepailitan). Barulah setelah diikuti oleh kreditor separatis, preferen, dan konkuren. Dengan demikian menurut penulis urutan kreditor yang benar yaitu:
1. Upah Buruh
2. Hak Negara
3. Kreditor Separatis
4. Kreditor Preferen[termasuk di dalamnya hak pekerja/buruh lainnya]
5. Kreditor Konkuren