Abstract:
Amandemen UUD 1945 yang ketiga merubah secara signifikasn sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya ialah konsep Kekuasaan Kehakiman. Pada awalnya hanya Mahkamah Agung (MA) saja yang menjalankan Kekuasaan Kehakiman, namun dengan adanya amandemen yang ketiga, Mahkamah Konstitusi (MK) juga merupakan pelaku Kekuasaan Kehakiman. Baik MA maupun MK mempunyai tugas dan kewenangannya masing-masing dan juga memiliki pengisian jabatan hakimnya masing-masing. Dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa calon Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. Sementara itu dalam Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa MK mempunyai sembilan Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden.
Adanya keterlibatan ketiga lembaga negara tersebut dalam pengisian jabatan hakim konstitusi merupakan implementasi dari prinsip checks and balances. Karena tugas dan wewenang MK itu sendiri memutuskan perkara yang berhubungan dengan konstitusi, sehingga perlu adanya keterlibatan lembaga negara lain terkait. Namun terdapat inkonsistensi dalam penerapan pengisian jabatannya. Seperti pada pengangkatan Patrialis Akbar dari unsur Presiden sebagai Hakim Konstitusi tanpa melalui fit and proper test dianggap bertentangan dengan Pasal 34 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman Jo Pasal 19 UU MK dimana dalam kedua pasal tersebut disebutkan bahwa pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Kemudian tata cara pengisian jabatan Hakim Konstitusi dari unsur MA yang sempat tertutup. Juga tertangkapnya dua Hakim Konstitusi yaitu Akil Mochtar dan Patrialis Akbar oleh KPK membuat kepercayaan masyarakat terhadap MK menurun.
Tata cara pengisian jabatan Hakim Konstitusi pun menjadi sorotan tajam. Terutama mengenai keterlibatan MA, DPR, dan Presiden. Apakah tepat MK yang merupakan pelaku Kekuasaan Kehakiman yang merdeka diisi oleh (hakimnya) oleh ketiga lembaga negara tersebut. Maka dari itu penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana pengisian jabatan Hakim Konstitusi untuk mendapatkan hakim yang adil, tidak berpihak dan transparan kemudian sesuai dengan keinginan masyarakat.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode yuridis normatif-sosiologis. Yang dimasMenggunakan metode tersebut karena penulis akan membahas mengenai asas-asas dan peraturan-peraturan yang terkait serta melakukan wawancara dengan perwakilan masing-masing lembaga negara pengaju mengenai tata cara pengisian jabatan Hakim Konstitusi.