Abstract:
Seksualitas manusia dibentuk oleh tindakan-tindakan yang tergenderisasi. Judith Butler berargumen bahwa tindakan yang disebut performatif ini dikonstruksi oleh hegemoni maskulin dan matriks heteroseksual. Hal ini menciptakan polarisasi antara yang kompromi dan yang subversi terhadap posisi mapan. Fakta konteks yang tergenderisasi juga oleh Manon Garcia disebut penyebab mengapa aktivitas seks tidak bisa etis kecuali pola pikir inklusif dilibatkan. Michel Foucault melihat polarisasi ini bergantung pada kekuasaan dan pengetahuan yang memproduksi wacana represif-opresif atau resisten. Seperti bagaimana seksualitas dipahami melalui scientia sexualis dan ars erotica. Untuk tujuan mempertahankan status quo, seksualitas kemudian dibuat tabu di ruang privat dan publik. Atau boleh diucap lantang ketika membicarakan prokreasi belaka. Identitas yang dianggap menyimpang kemudian diliyankan dan menjadi pihak yang paling dirugikan. Hal ini juga disebabkan karena masyarakat tidak terbiasa dengan fakta bahwa seksualitas itu performatif, lekat dengan konstruksi, dan bukan sesuatu yang natural atau ajeg. Masyarakat juga tidak memahami aspek fluid dari seksualitas yang selalu berada pada tegangan antara dikonstruksi dan mengonstruksi, atau antara yang profan (pemaknaan dangkal) dan yang sakral (penghormatan ketubuhan), yang terus berproses dan menjadi. Konsekuensinya, kekerasan hegemonik mengakar dan dinormalisasi di keseharian. Dengan menggunakan metode literatur dan teori performativitas dari Judith Butler, tulisan ini mengeksplorasi bagaimana penabuan dan pemberlakuan suatu matriks terjadi, lantas mengonstruksi identitas yang seksual (dari luar ke dalam). Peneliti menawarkan bahwa 1) penghayatan ketubuhan (dari dalam ke luar) juga berkontribusi terhadap terbentuknya suatu identitas, 2) posisi in-between dapat mengatasi polarisasi hegemonik dan menjadi jembatan untuk memahami ragam identitas seksual berdasarkan performativitas dan agensi.