Abstract:
Sekolah inklusif merupakan sekolah yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik termasuk difabel dalam memperoleh ilmu yang sama. Kemendikbud mewajibkan agar pemerintah kabupaten/kota setidaknya memiliki satu sekolah inklusif pada tingkatan SD, SMP, dan SMA untuk setiap kecamatan. Bangunan sekolah inklusif harus memenuhi sertifikat laik fungsi (SLF) agar sesuai dengan fungsionalitas dan keandalan bangunan terkait aspek keselamatan, kesehatan, kenyamanan, serta kemudahan. Susenas (2020), menyatakan bahwa penderita tuna netra dan tuna
daksa menempati posisi pertama (63,7%) dan kedua (38,3%) yang terbanyak di Indonesia, sehingga pengembangan akan dilakukan terhadap aspek kemudahan aksesibilitasnya. Penelitian dimulai dengan mengidentifikasi parameter kemudahan bangunan berdasarkan PP No. 16 Tahun 2021 terkait hubungan horizontal, hubungan vertikal, dan kelengkapan sarana dan prasarana. Pengembangan daftar simak penilaian menggunakan referensi dari peraturan/standar luar negeri, lalu direduksi
dengan melakukan studi literatur. Hasil pengembangan kemudian divalidasi oleh TABG dan Arsitek. Pembobotan instrumen penilaian dilakukan dengan metode AHP dan dibuat sistem penilaian berupa skoring pada setiap kriteria penilaian. Penilaian terkait aspek kemudahan dilakukan di Bandung terhadap 1 sekolah negeri dengan nilai 43,24 (< 75) dan 1 sekolah swasta dengan nilai 48,59 (< 75). Rekomendasi diberikan pada kedua sekolah hanya untuk memenuhi batas syarat minimum keandalan bangunan, didapat nilai sekolah negeri 76,14 dan sekolah swasta 75,17.