Abstract:
Keterlibatan anak dalam beberapa aksi terorisme menyebabkan anak dinyatakan sebagai pelaku dari tindak pidana terorisme (Anak Pelaku) dan diharuskan untuk menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Namun, terdapat perbedaan istilah dalam regulasi terkait pembinaan Anak Pelaku yang dikhawatirkan dapat menimbulkan multitafsir. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan menggunakan istilah pembinaan untuk membakukan rangkaian kegiatan guna meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian narapidana dan anak binaan di LPKA. Sedangkan, Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme (Permen PPPA No. 7/2019) menggunakan istilah “penanganan” yang tidak didefinisikan secara konkret. Permen PPPA No. 7/2019 sebagai lex specialis sebaiknya mengubah istilah “penanganan” menjadi istilah “pembinaan” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, sebab istilah tersebut memiliki cakupan makna yang lebih spesifik baik secara harfiah maupun bahasa hukum. Selain inkonsistensi istilah, Permen PPPA No. 7/2019 juga tidak terimplementasikan. Dalam melaksanakan pendidikan formal dan nonformal, rehabilitasi sosial, dan konseling LPKA Kelas I Tangerang dan LPKA Kelas II Jakarta menggunakan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-03.OT.02.02 Tahun 2014 tentang Pedoman Perlakuan Anak Di Balai Pemasyarakatan, Lembaga Penempatan Anak Sementara, Dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak Di Lingkungan Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia (Pedoman Perlakuan Anak di LPKA Tahun 2014). Pada praktinya peraturan tersebut juga belum terimplementasikan dengan baik. Keterbatasan sumber daya manusia dengan kualifikasi yang sesuai dengan tugasnya dan kekosongan hukum tentang deradikalisasi bagi Anak Pelaku mengakibatkan permasalahan efektivitas pelaksanaan pembinaan bagi Anak Pelaku. Solusi sementara dari permasalahan tersebut dapat dilakukan melalui upaya bekerjasama dengan pihak ketiga sesuai dengan kebutuhan sumber daya manusia di LPKA dan menggunakan Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: PAS-172.PK.01.06.01 Tahun 2015 tentang Standar Pembinaan Narapidana Teroris sampai dengan pemerintah atau instansi terkait menetapkan peraturan yang seharusnya dan digunakan secara sebagian dengan tetap memperhatikan kebutuhan Anak Pelaku.