Abstract:
Jakarta sebagai penyandang status Daerah Khusus Ibukota dan merupakan Kawasan industri, komersial dan infrastruktur yang padat penduduk dengan paradigma perencanaan kota yang berorientasi kepada kendaraan pribadi. Hal ini menyebabkan lalu lintas yang padat dan juga menjadikan Jakarta sebagai salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Maka dari itu, dibutuhkan kemajuan dalam aspek transportasi umum yang lebih berkelanjutan dalam bentuk JakLingko. Skema mobilitas ini harus dapat melayani semua golongan masyarakat, termasuk kalangan disabilitas, dan di antara kelima moda transportasi dalam skema ini, MRT memenangkan predikat tertinggi sebagai operator transportasi terbaik dalam pemberian layanan untuk kaum disabilitas. Karena lokasinya yang strategis, Stasiun MRT Bundaran HI menjadi stasiun yang paling sering dikunjungi. Salah satu disabilitas yang paling sering dialami pada manusia adalah gangguan pendengaran yang banyak dialami oleh orang-orang yang masih tergolong usia produktif dan seharusnya dapat menggunakan transportasi publik dengan kesempatan yang sama dengan semua orang pada umumnya. Oleh karena itu, dibutuhkan standarstandar dan optimalisasi desain yang dapat membantu penyandang tunarungu untuk menggunakan transportasi publik dengan lebih nyaman. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif yang mengutamakan proses pengamatan fenomena yang diteliti dan menempatkan penulis sebagai pengamat. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah pendataan untuk mempelajari fenomena yang dibandingkan dengan teori prinsip deaf space dan peraturan yang berlaku di Indonesia, Metode lain adalah dengan melakukan wawancara untuk mendapatkan persepsi penyandang tunarungu yang sudah pernah menggunakan Stasiun MRT Bundaran HI. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan sudut pandang sekaligus validasi pendataan dan penilaian berdasarkan standar dan prinsip yang telah dilakukan dan kesesuaiannya terhadap apa yang dialami penyandang tunarungu. Hasil pendataan yang telah dilakukan dinilai berdasarkan standar-standar yang berlaku di Indonesia dan juga prinsip deaf space. Hasil analisis dinilai berdasarkan parameter penilaian yang mengacu kepada aspek keselamatan, keamanan, keandalan, kenyamanan, kemudahan, dan kesetaraan. Penilaian tersebut lalu dibandingkan dengan penilaian dari persepsi penyandang tunarungu saat menggunakan fasilitas di Stasiun MRT Bundaran HI. Berdasarkan penilaian yang dilakukan dengan standar-standar yang berlaku, semua fasilitas meraih nilai cukup. Namun ketika dibandingkan dengan dengan persepsi penyandang tunarungu, penilaian sebagian besar mendapatkan nilai baik, kecuali aspek kesetaraan. Selain itu, dilakukan juga survey terhadap optimalisasi desain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kenyamanan penyandang tunarungu saat beraktivitas di Stasiun MRT Bundaran HI berdasarkan prinsip deaf space. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan, Stasiun MRT Bundaran HI sudah dapat mengakomodasi penyandang tunarungu dengan baik dan sesuai standar, namun terdapat beberapa saran yang dapat diterapkan dalam desain untuk lebih mendukung aksesibilitas penyandang tunarungu.