dc.description.abstract |
Terdapat kritik terhadap pelaksanaan hukuman mati di Indonesia dan Singapura, yaitu bahwa pidana mati cenderung dijatuhkan kepada pihak yang berasal dari kelas sosial rendah. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah kritik tersebut benar atau tidak. Alasan membandingkan kedua negara adalah untuk melihat apakah adanya universalitas terkait penerapan hukuman mati, bahwa Indonesia sebagai negara berkembang dengan sistem hukum civil law dan Singapura sebagai negara maju dengan sistem hukum common law memiliki masalah yang sama. Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis mengumpulkan putusan pidana mati Indonesia dan Singapura dari tahun 2017—2022. Kemudian, penulis menganalisis putusan tersebut dan melihat latar belakang dari terpidana, serta melihat apakah terpidana melakukan tindak pidananya karena dilatarbelakangi oleh motif ekonomi/masalah finansial. Selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian, dipahami bahwa terdapat indikasi bahwa pidana mati di Indonesia diterapkan secara diskriminatif. Hal tersebut terlihat pada fakta bahwa dari 209 terpidana mati di Indonesia, diketahui bahwa sebanyak 32% terpidana mati memiliki pekerjaan kerah biru. Angka tersebut memang tidak sampai pada angka yang dapat disebut sebagai mayoritas. Namun, perlu diketahui bahwa persentase terpidana mati dengan pekerjaan kerah putih ada di angka 0,06%. Dan dalam periode yang sama, ada 2.857 kasus tindak pidana korupsi dengan total kerugian negara sebesar Rp. 111, 2 triliun di Indonesia. Akan tetapi, tidak ada satu pun vonis pidana mati terhadap pelaku tindak pidana kerah putih. Sedangkan, di Singapura, dapat dipastikan bahwa 10 dari 35 terpidana mati memiliki masalah ekonomi yang melatarbelakangi tindak pidananya. Isu lain yang ditemukan di Singapura adalah bahwa pidana mati cenderung dijatuhkan kepada ras minoritas. Dengan demikian, sebaiknya kedua negara mengevaluasi apakah pidana mati yang diterapkan sudah sesuai dengan asas persamaan di hadapan hukum atau tidak. |
en_US |