Abstract:
Indonesia menjalankan persidangan di gedung pengadilan sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam KUHAP. Seluruh proses persidangan dilakukan di pengadilan, termasuk juga tahap pemeriksaan. KUHAP mengatur bahwa pemeriksaan harus dilakukan di gedung pengadilan secara langsung dan lisan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun pada tahun 2020 Indonesia dihadapkan oleh situasi pandemi akibat adanya Virus Covid 19. Dampaknya beberapa instansi harus menerapkan sistem kerja secara Work From Home agar tidak memperluas penyebaran virus Covid-19. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia bersama dengan Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan surat edaran yang kemudian berkembang menjadi Peraturan Mahkamah Agung agar persidangan dilakukan secara elektronik, termasuk juga persidangan kasus pidana.
Dengan disahkan nya PERMA Nomor 4 Tahun 2020 yang kemudian diperbaharui menjadi PERMA Nomor 8 Tahun 2022 mengakibatkan seluruh kasus pidana diselesaikan secara persidangan elektronik juga. Namun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak dikenal adanya persidangan secara elektronik. KUHAP mengatur bahwa persidangan harus dilakukan di gedung pengadilan dan pemeriksaan perkara harus dilakukan secara langsung dan lisan. Metode penelitian menggunakan yuridis sosiologis yang bersifat deskripstif analitis, penelitian akan menggunakan studi kepustakaan serta melakukan studi lapangan dengan melakukan observasi di Pengadilan Negeri Tasikmalaya dan Lembaga Pemasyarakatan Tasikmalaya, serta melakukan wawancara terhadap Hakim dan Panitera di Pengadilan Negeri Tasikmalaya dan Petugas Lapas dan Terdakwa di LAPAS Tasikmalaya.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa persidangan elektronik pada prakteknya menyimpangi beberapa asas dalam KUHAP serta hakim juga tidak dapat menjamin kebebasan dalam terdakwa memberikan keterangan serta fasilitas dari lokasi penelitian penulis, belum sepenuhnya memadai.