Abstract:
Aborsi paksa merupakan tindakan seseorang yang dilakukan dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan aborsi dengan kekerasan, ancaman
kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan, hal tersebut tentu saja menimbulkan gangguan psikologis kesehatan reproduksi bahkan
kehilangan nyawa. Berdasarkan aduan yang diterima oleh KOMNAS Perempuan telah tercatat 147 kasus aborsi paksa pada tahun 2016-2021, dimana pelakunya beragam mulai dari orang tua, pacar, dan juga suami. Sayangnya walaupun sudah tercatat cukup banyak, tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara eksplisit tentang aborsi paksa. Kekosongan hukum tersebut menyebabkan wanita yang dipaksa melakukan aborsi memiliki kedudukan sbagai pelaku utama tindak pidana aborsi sehingga rentan dijatuhkan hukuman pidana, padahal wanita tersebut mengalami bentuk-bentuk pemaksaan yang menyebabkan gangguan psikologis kesehatan reproduksi bahkan kehilangan nyawa. Untuk itu penulisan ini akan membahas mengenai kedudukan wanita yang dipaksa melakukan aborsi sebagai korban, serta perlindungan hukum apa yang dapat digunakan sebagai alternatif lain bagi wanita yang dipaksa melakukan aborsi selama belum ada hukum yang mengatur tentang aborsi paksa. Perlindungan hukum tersebut ditinjau dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.